Opini

Laboratorium Demokrasi di Ujung Barat Flores: Sejarah Pilkada Manggarai Barat 2005-2024

Kris Bheda Somerpes
Divisi Hukum dan Pengawasan, KPU Kabupaten Manggarai Barat

 

Di ujung barat Pulau Flores, di antara laut biru dan gugusan pulau-pulau kecil tempat komodo purba bertahan hidup, berdirilah sebuah kabupaten muda bernama Manggarai Barat. Usianya memang baru dua dekade, tetapi kiprahnya dalam sejarah demokrasi lokal Indonesia sudah menyajikan pelajaran yang padat. Kabupaten ini resmi berdiri pada tahun 2003 melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2003, lahir dari perjuangan panjang tokoh-tokoh lokal dan aspirasi masyarakat yang selama puluhan tahun merasa terpinggirkan dari pusat pemerintahan di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai kala itu.

Labuan Bajo dipilih sebagai ibu kota kabupaten baru. Dari sebuah kota pelabuhan kecil, ia kini tumbuh menjadi destinasi wisata kelas dunia, sekaligus jantung pemerintahan dan arena politik. Namun, berdirinya kabupaten hanyalah permulaan. Sebuah entitas administratif tak akan berarti tanpa pemerintahan yang sah, dan pemerintahan yang sah hanya bisa lahir melalui mekanisme demokrasi. Karena itu, sejarah pilkada Manggarai Barat sejak 2005 hingga 2024 adalah catatan penting tentang bagaimana sebuah daerah muda belajar berdemokrasi: penuh dinamika, konflik, kompromi, sekaligus harapan.

Pilkada Perdana 2005: Antusiasme di Tengah Keterbatasan

Pilkada pertama pada 27 Juni 2005 menjadi ritus peralihan dari status kabupaten “di atas kertas” menjadi daerah otonom dengan pemimpin pilihan rakyat. Tantangan teknis tak kecil: distribusi kotak suara harus menyeberangi laut, melewati jalan tanah di pegunungan, bahkan melawan cuaca yang tak menentu. Namun semangat warga jauh melampaui keterbatasan logistik. Dari 106 ribu pemilih, lebih dari 88 % hadir di TPS—angka partisipasi yang menakjubkan bagi sebuah daerah muda.

Tiga pasangan calon bertarung, dan pasangan Wilfridus Fidelis Pranda – Agustinus Dula keluar sebagai pemenang dengan 53,7 % suara. Sengketa memang muncul, dibawa hingga Mahkamah Agung, tetapi putusan akhir menegaskan kemenangan mereka. Momentum ini menandai lahirnya kepemimpinan definitif pertama Manggarai Barat dan meneguhkan kepercayaan masyarakat bahwa suara mereka benar-benar menentukan arah kabupaten.

Pilkada 2010: Fragmentasi dan Ujian Hukum

Lima tahun kemudian, dinamika politik Manggarai Barat semakin kompleks. Delapan pasangan calon maju dalam Pilkada 2010, menjadikannya kontestasi paling ramai sepanjang sejarah daerah ini. Fragmentasi tersebut mencerminkan menguatnya basis-basis politik lokal: partai nasional, figur birokrat, hingga tokoh adat.

Hasilnya, pasangan Agustinus Dula – Maximus Gasa menang tipis dengan selisih sekitar 5.500 suara dari pesaing utama, Fidelis Pranda – Pata Vinsensius. Namun kemenangan ini tidak otomatis mulus. Sengketa dilayangkan hingga Mahkamah Konstitusi, bahkan berlanjut ke Mahkamah Agung. Pada titik tertentu, keputusan hukum justru membatalkan SK pengangkatan mereka, meski pada praktiknya pemerintahan tetap berjalan sampai 2015.

Inilah paradoks demokrasi lokal: hukum dan politik tak selalu seirama. Namun, justru dalam kondisi itu masyarakat Manggarai Barat belajar bahwa demokrasi tidak berhenti di bilik suara, melainkan juga melibatkan lembaga hukum, negosiasi politik, dan stabilitas pemerintahan.

Pilkada 2015: Gender, Representasi, dan Demokrasi Serentak

Gelombang baru lahir pada Pilkada 2015, ketika pemerintah pusat menggelar pilkada serentak di seluruh Indonesia. Bagi Manggarai Barat, momentum ini menegaskan bahwa ia tak lagi diperlakukan sebagai daerah “pemekaran khusus”, melainkan bagian utuh dari kalender demokrasi nasional.

Yang paling menonjol adalah munculnya Maria Geong, seorang birokrat perempuan bergelar doktor, sebagai calon wakil bupati mendampingi Agustinus Dula. Kehadirannya adalah terobosan penting dalam representasi gender di Nusa Tenggara Timur. Pilkada ini sekaligus memperlihatkan transformasi kampanye: dari sekadar tatap muka desa-ke-desa menjadi penggunaan baliho besar, media lokal, hingga awal-awal media sosial. Politik Manggarai Barat memasuki fase modern, di mana pemilih semakin kritis dan mampu membandingkan visi serta rekam jejak kandidat.

Meski sengketa administratif sempat mewarnai proses pencalonan, Pilkada 2015 berjalan relatif damai. Dula–Maria keluar sebagai pemenang, memperkuat simbol kontinuitas sekaligus membuka ruang baru bagi keterlibatan perempuan dalam politik lokal.

Pilkada 2020–2024: Konsolidasi dan Transformasi

Dua pilkada berikutnya, 2020 dan 2024, memperlihatkan wajah demokrasi Manggarai Barat yang semakin matang. Kontestasi berlangsung lebih seimbang, tidak lagi didominasi figur tunggal. Generasi baru kepemimpinan muncul, membawa isu-isu segar: pembangunan berkelanjutan, tata kelola pariwisata, distribusi kesejahteraan antara daratan dan kepulauan.

Labuan Bajo, yang sudah ditetapkan sebagai salah satu destinasi super prioritas nasional, menjadi magnet politik sekaligus sumber tantangan. Persaingan tidak hanya soal kursi bupati, melainkan juga tentang siapa yang paling mampu mengelola hubungan pusat-daerah, investasi pariwisata, serta menjaga keseimbangan antara konservasi dan pembangunan ekonomi.

Hingga Pilkada 2024, Manggarai Barat sudah lima kali menggelar pesta demokrasi. Setiap periode menyajikan pelajaran berbeda: tentang bagaimana membangun legitimasi, bagaimana mengelola sengketa hukum, bagaimana membuka ruang bagi perempuan, dan bagaimana menyeimbangkan pariwisata global dengan kebutuhan masyarakat lokal.

Laboratorium Demokrasi

Jika demokrasi adalah sebuah eksperimen panjang, maka Manggarai Barat adalah laboratorium yang penuh warna. Dari pilkada perdana yang heroik, fragmentasi politik yang riuh, sengketa hukum yang rumit, hingga keterbukaan gender dan konsolidasi kepemimpinan baru, semua fase itu memperlihatkan bahwa demokrasi tidak pernah statis.

Dua dekade perjalanan ini membuktikan bahwa meski lahir sebagai kabupaten muda, Manggarai Barat mampu menghidupkan prinsip-prinsip demokrasi dengan cara yang khas: memadukan budaya lokal, dinamika politik nasional, dan tantangan global pariwisata.

Sejarah pilkada di Manggarai Barat bukan hanya catatan lokal. Ia adalah bagian dari mosaik demokrasi Indonesia—cermin kecil dari bagaimana reformasi dan desentralisasi benar-benar bekerja di daerah. Dan seperti laboratorium sejati, dari sini kita belajar bahwa demokrasi adalah proses yang terus bereksperimen, memperbaiki diri, dan mencari bentuk terbaik bagi kesejahteraan rakyatnya.*)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 52 kali