Politik Makin Ramai, Hukum Menguji, Lineamenta Sejarah Pilkada Kedua Manggarai Barat (2010)
Oleh: Kris Bheda Somerpes
Divisi Hukum dan Pengawasan
Lima tahun sejak pemilihan bupati pertama digelar, Manggarai Barat tidak lagi sekadar “daerah pemekaran muda” yang penuh harapan. Dalam waktu singkat, kabupaten di ujung barat Flores ini mulai menunjukkan potensinya. Labuan Bajo, yang dulu hanyalah kota pelabuhan kecil, perlahan berubah wajah menjadi destinasi wisata unggulan. Jalan-jalan diperbaiki, pembangunan mulai menjangkau wilayah pedalaman dan kepulauan, serta aktivitas ekonomi masyarakat meningkat, didorong oleh geliat pariwisata, perdagangan, dan sektor jasa.
Di balik kemajuan itu, konstelasi politik lokal ikut bergeser. Lima tahun pemerintahan pertama memberi pengalaman berharga, tetapi juga membuka ruang bagi evaluasi, kritik, dan ambisi baru. Partai-partai politik, yang pada awalnya masih sibuk mencari pijakan di daerah baru ini, kini sudah punya basis dukungan yang lebih jelas. Tokoh-tokoh lokal yang dulu sekadar figur pendukung mulai melihat peluang lebih besar. Kursi bupati tidak lagi sekadar simbol administrasi, tetapi posisi strategis: pusat kendali arah pembangunan, pengelolaan sumber daya, dan distribusi kekuasaan.
Atmosfer inilah yang mewarnai Pilkada Manggarai Barat tahun 2010. Berbeda dengan 2005, ketika kontestasi masih sederhana dan didominasi figur-figur awal pembentukan kabupaten, kali ini panggung politik penuh sesak. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Barat menetapkan delapan pasangan calon. Jumlah ini bukan hanya terbanyak sepanjang sejarah Pilkada daerah ini, tetapi juga mencerminkan “ledakan” partisipasi politik lokal, semua kekuatan ingin mencoba peruntungannya.
Berikut daftar pasangan calon yang maju dalam Pilkada Manggarai Barat tahun 2010 berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Manggarai Barat Nomor 40/Kpts/KPU-Kab/Kota-018.434062/2010 tentang peserta Pilkada Manggarai Barat 2010 yakni:
|
No. |
Nama Pasangan Calon |
Julukan (Paket) |
Dukungan/ |
|
1 |
Ir. Yohanes W. Wempi Hapan, M.Sc. dan Ir. Monaldus Nadjib |
Panji |
PKPB, PPI, PPIB, PKIB |
|
2 |
Drs. W. Fidelis Pranda dan Vinsensius Pata, SH |
Fiva |
PDIP, Hanura, PKPI, |
|
3 |
Mateus Hamsi, S.Sos dan Thedorrus Hagur |
Mashur |
Golkar, Partai Karya Perjuangan |
|
4 |
Drs. Yosf Ardis dan Bernadus Barat Daya, SH, MH |
Yes |
PMB, PBR |
|
5 |
Drs. Saferinus Dagun dan Fransiskus Sukamaniara |
Sar |
Perseorangan |
|
6 |
Paul Serak Baut, M.Si dan Drs. Petrus Malada, MM |
Palma |
Perseorangan |
|
7 |
Drs. Antony Bagul Dagur, M.Si dan H. Abdul Asis, S.Sos |
Damai |
PKS, PDS, PBB |
|
8 |
Drs. Agustinus Ch. Dula dan Drs. Maximus Gasa, M.Si |
Gusti |
PAN, PPPDI, Demokrat, PKNU, Partai Pelopor |
Fragmentasi ini menunjukkan politik yang semakin cair. Tidak ada satu kekuatan dominan; aliansi partai-partai nasional terdistribusi, figur-figur berpengaruh hadir dari berbagai latar belakang diantaranya birokrasi, politik, jaringan adat, bahkan dukungan komunitas keagamaan. Manggarai Barat menjadi ajang pertarungan yang benar-benar kompetitif, di mana strategi, jaringan, dan kemampuan merangkul dukungan akar rumput menjadi penentu.
Di tengah delapan pasangan calon itu, satu nama menarik perhatian publik: Agustinus Ch. Dula, wakil bupati periode pertama (2005–2010). Pengalamannya lima tahun di pemerintahan daerah hasil pemekaran menjadi modal kuat. Dula memilih Maximus Gasa sebagai pasangan, kombinasi yang dianggap membawa “dua mesin sekaligus” yakni legitimasi pemerintahan lama dan kekuatan politik baru.
Sementara itu, bupati pertama, Fidelis Pranda, tidak tinggal diam. Ia kembali maju, kali ini berpasangan dengan Pata Vinsensius, menjadikan kontestasi ini bukan hanya tentang program dan jaringan, tetapi juga tentang duel figur lama dalam konfigurasi baru.
Kampanye berlangsung jauh lebih intens daripada lima tahun sebelumnya. Panggung kampanye tidak lagi sederhana; kini diwarnai orasi besar, janji pembangunan, serta manuver politik yang melibatkan kelompok-kelompok kepentingan yang lebih beragam. Isu pemerataan pembangunan antara daratan dan kepulauan menjadi topik panas. Begitu pula soal infrastruktur, peluang kerja, pariwisata, dan tata kelola pemerintahan yang dianggap perlu lebih transparan dan responsif.
Hari pemungutan suara tiba. Pemungutan suara oleh 127.677 pemilih dalam DPT dilakukan di 500 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di tujuh kecamatan digelar pada 3 Juni 2010 dengan tingkat partisipasi pemilih mencapai 89 %.
|
Kecamatan |
Jumlah Pemilih (DPT) |
Jumlah Desa |
Jumlah TPS |
|
Komodo |
25.563 |
16 |
77 |
|
Sano Nggoang |
14.568 |
24 |
92 |
|
Kuwus |
22.348 |
27 |
96 |
|
Macang Pacar |
16.588 |
13 |
58 |
|
Lembor |
28.171 |
21 |
103 |
|
Boleng |
9.967 |
9 |
34 |
|
Welak |
10.170 |
11 |
40 |
|
TOTAL |
127.384 |
121 |
500 |
Secara teknis, KPU menghadapi tantangan serupa seperti 2005 yakni wilayah kepulauan, logistik yang harus diangkut lewat darat dan laut, cuaca yang tidak selalu bersahabat. Namun, pengalaman lima tahun sebelumnya membuat penyelenggaraan lebih rapi, meskipun tensi politik lebih tinggi dari sebelumnya.
Hasil rekapitulasi yang ditetapkan melalui Keputusan KPU Kabupaten Manggarai Barat Nomor 46/Kpts/KPU-Kab/Kota-018434062/2010 pada tanggal 10 Juni 2010 menunjukkan pasangan Agustinus Ch. Dula dan Maximus Gasa (GUSTI) keluar sebagai pemenang dengan perolehan 34.972 suara. Posisi kedua ditempati pasangan Fidelis Pranda dan Pata Vinsensius (FIVA) dengan 29.401 suara, sementara enam pasangan lain tersebar jauh di bawah keduanya.
Selisih sekitar 5.500 suara memperlihatkan kompetisi yang ketat di dua poros utama. Kontestasi politik di Manggarai Barat kini bukan lagi soal siapa yang paling dikenal, tetapi siapa yang paling efektif membangun koalisi dan mengelola dukungan di wilayah yang sangat beragam.
|
No |
Pasangan Calon (Nama/Julukan) |
Suara Sah |
|
1 |
PANJI (Ir. Yohanes W. W. Hapan dan Ir. Monaldus Nadjib) |
3.225 |
|
2 |
FIVA (Drs. W. Fidelis Pranda dan Pata Vinsensius) |
29.401 |
|
3 |
MASHUR (Matheus Hamsi dan Theodore Sagur) |
12.968 |
|
4 |
YES (Drs. Yosef Ardis dan Bernandus Barat Daya) |
11.177 |
|
5 |
SAR (Drs. Saferinus Dagun dan Fransiskus Sukmaniara) |
2.435 |
|
6 |
PALMA (Paul Serak Baut dan Drs. Malada Peterus) |
3.243 |
|
7 |
DAMAI (Drs. Antony Bagul Dagur dan H. Abdul Asis) |
14.863 |
|
8 |
GUSTI (Drs. Agustinus Ch. Dula dan Drs. Gaza Maximus) |
34.972 |
|
Total Suara Sah |
112.284 |
|
Namun, kemenangan ini tidak serta-merta menutup cerita. Tiga pasangan calon yang kalah dan/atau merasa dirugikan karena keputusan KPU Kabupaten Manggarai Barat, yakni Pasangan calon DRS. W. Fidelis Pranda dan Pata Vinsensius, SH., MM (FIVA), Pasangan calon DRS. Ardis Yosef dan Bernandus Barat Daya, S.H., M.H (YES) dan Pasangan calon Antony Bagul Dagur, M.Si dan H. Abdul Asis, S.Sos (DAMAI) mengajukan gugatan hasil Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sengketa ini menyoroti persoalan administrasi dan tuduhan pelanggaran yang dianggap memengaruhi hasil. MK kemudian memutuskan menolak permohonan para penggugat dan menguatkan kemenangan pasangan Dula–Gasa sebagaimana tertuang dalam amar putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Manggarai Barat Tahun 2010. Pasangan ini pun dilantik pada 9 Agustus 2010 melalui SK Menteri Dalam Negeri, menandai awal periode pemerintahan kedua Manggarai Barat.
Sengketa hukum tidak berhenti di Mahkamah Konstitusi. Proses politik selalu menyimpan kejutan. Pasca Pilkada, sengketa hukum pun muncul. Sengketa kepemimpinan daerah Manggarai Barat pasca Pilkada 2010 menjadi salah satu contoh paling jelas bagaimana jalur hukum dan jalur politik kerap berjalan tidak seirama.
Pada awalnya, paket Fiva menggugat keabsahan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 131.53-461 Tahun 2010 (tentang pengesahan pengangkatan Bupati Manggarai Barat) dan Nomor 132.53-462 Tahun 2010 (tentang pengesahan pengangkatan Wakil Bupati Manggarai Barat), keduanya tertanggal 9 Agustus 2010. Gugatan ini diajukan ke PTUN Jakarta, dan pada 17 Maret 2011 majelis hakim memutus:
- Mengabulkan gugatan penggugat sebagian.
- Menyatakan batal kedua SK Mendagri tersebut.
- Mewajibkan Mendagri mencabutnya.
- Menolak gugatan selebihnya.
- Menghukum Mendagri membayar biaya perkara sebesar Rp 94.000.
Dengan demikian, secara hukum paket Fiva dinyatakan menang, sementara Mendagri sebagai tergugat dinyatakan kalah. Putusan ini bahkan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Akan tetapi, meskipun penggugat telah tiga kali mengajukan permohonan eksekusi, pada kenyataannya putusan tersebut tidak pernah dilaksanakan. Semua berakhir dengan status non-eksekutabel, sementara pasangan kepala daerah yang sudah dilantik tetap melanjutkan roda pemerintahan.
Hampir dua tahun setelah pelantikan, tepatnya pada 7 Mei 2012, Mahkamah Agung (MA) kembali mengeluarkan putusan mengejutkan, yakni Putusan No. 346 K/TUN/2011 yang membatalkan SK Mendagri No. 131.53-462 Tahun 2010 tentang penetapan pasangan Agustinus Ch. Dula – Maximus Gasa sebagai Kepala Daerah Manggarai Barat. Putusan ini dijatuhkan setelah putusan Pengadilan Tinggi Kupang tertanggal 1 November 2010 dinyatakan berkekuatan hukum tetap.
Secara yuridis, keputusan MA tersebut jelas menggoyahkan legitimasi pemerintahan yang sudah berjalan hampir separuh periode. Bahkan, Mendagri saat itu, Gamawan Fauzi, seharusnya mencopot pasangan Dula–Gasa paling lambat dalam waktu 60 hari sejak putusan inkracht, yakni sekitar awal Januari 2012.
Namun, realitas politik dan pemerintahan menunjukkan hal berbeda. Tidak ada penunjukan pejabat sementara, tidak ada kekosongan kekuasaan, dan tidak ada krisis nyata di lapangan. Pasangan Dula–Gasa tetap menjalankan pemerintahan hingga masa jabatannya berakhir pada 2015, meskipun secara hukum dasar pengangkatan mereka sudah dibatalkan pengadilan.
Peristiwa ini menjadi salah satu episode paling unik dalam sejarah demokrasi lokal di Nusa Tenggara Timur. Para pengamat menyebutnya sebagai bentuk “anomali transisi”, yakni sebuah kondisi ketika logika hukum dan logika politik tidak sejalan, namun keputusan politik diambil dengan mempertimbangkan stabilitas daerah sebagai prioritas utama.
Masyarakat sempat bingung, tetapi konflik tidak meluas. Pemerintahan tetap berjalan, pembangunan tidak berhenti, dan demokrasi lokal diuji dalam makna yang lebih dalam: bagaimana mengelola ketidakpastian tanpa meruntuhkan fondasi yang sedang dibangun.
Dari Pilkada 2010, Manggarai Barat belajar bahwa demokrasi bukan sekadar soal menang-kalah di bilik suara. Demokrasi juga tentang kemampuan daerah bertahan menghadapi turbulensi hukum, menjaga agar pemerintahan tidak lumpuh, serta memastikan pelayanan publik tetap berjalan meskipun badai politik mengguncang di atasnya.*)