Basis-Basis Argumentasi Parliamentary Threshold Hanya Untuk Pemilu Anggota DPR RI
Krispianus Bheda
Divisi Sosdiklih Parmas KPU Kabupaten Manggarai Barat-Puslitbang Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Barat
Pengaturan terkait Parliamentary Threshold (PT) tidak diberlakukan untuk Pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, tetapi hanya untuk Pemilihan Umum Anggota DPR RI. Ketentuan tersebut sudah berlaku sejak Pemilihan Umum Tahun 2009 sebagaimana tertuang dalam Pasal 202 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menjadi dasar hukum Pemilu 2009. Dalam Pasal 202 disebutkan: "1. Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota."
Dalam Pemilu 2014, kemudian diberlakukan lagi, namun bukan hanya untuk DPR tetapi juga untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, menerapkan PT secara flat dari nasional/pusat (untuk penentuan kursi DPR RI) sampai ke daerah (untuk penentuan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/ kota. Perihal ini tertuang dalam Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menjadi dasar Pemilu 2014.“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.”
Namun, terhadap ketentuan tersebut, banyak pihak khususnya Partai Politik yang mengajukan keberatan karena dipandang tidak hanya bertentangan secara hukum (terhadap UUD 1945), tetapi juga mencederai prinsip otonomi daerah dan tidak mengakomodir keberagaman dan kebhinekaan politik daerah. Keberatan tersebut diantaranya diajukan oleh 17 (tujuh belas) Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi kemudian memutuskan untuk meniadakan dan/atau menghapus frasa “…DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.”
Berdasarkan putusan tersebut, pemberlakuan PT untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2014 dengan demikian ditiadakan. Pertanyaannya adalah apa saja argumentasi yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 52/PUU-X/2012 yang dibacakan pada Rabu, 29 Agustus 2012 tersebut. Tulisan ini mencoba untuk menyajikan kembali dasar-dasar pertimbangan tersebut.
Pertimbangan Politik
Dengan merujuk pada Putusan sebelumnya yaitu Putusan MK Nomor 3/PUU-VII/2009, MK berpendapat bahwa perlakuan yang berbeda bagi calon anggota DPR yang dikenai kebijakan PT bagi Parpol untuk menempatkan wakilnya di DPR, dengan tidak diberlakukan bagi penentuan kursi anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota merupakan kebijakan yang tepat. Menurut MK kedudukan DPRD dalam system ketatanegaraan memang berbeda dengan DPR yang bersifat nasional yang dalam kapasitasnya memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Alasan pertimbangan lain adalah karena secara politik kekuasaan DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah masih dapat dikontrol oleh Pemerintah (pusat).
“... Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 melanggar prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, karena menurut para Pemohon ada perlakuan yang berbeda bagi calon anggota DPR yang dikenai kebijakan PT bagi Parpol untuk menempatkan wakilnya di DPR, sedangkan ketentuan tersebut tidak diberlakukan bagi penentuan kursi anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa kebijakan tersebut sudah tepat, karena kedudukan DPRD dalam sistem ketatanegaraan memang berbeda dengan DPR yang bersifat nasional dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang [Pasal 20 ayat (1) UUD 1945], serta menjadi penyeimbang kekuasaan Presiden dalam sistem checks and balances, lagipula kekuasaan DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah masih dapat dikontrol oleh Pemerintah (pusat). Dalam hal ini, Mahkamah juga sependapat dengan argumentasi DPR, Pemerintah, dan ahli dari Pemerintah, bahwa ketentuan PT yang hanya berlaku bagi penentuan kursi DPR dan tidak berlaku bagi penentuan kursi DPRD, bukanlah kebijakan yang diskriminatif, melainkan justru kebijakan yang proporsional”
Pertimbangan MK di atas dalam perkara yang sama juga disampaikan oleh Dr. Margarito Kamis, ketika dihadirkan sebagai saksi ahli oleh para pemohon. Menurutnya menyamakan angka ambang batas 3,5% secara nasional tidak memiliki pijakan konstitusional.
“DPR, karena jangkauan fungsinya tidak mungkin dijadikan pijakan membangun nalar konstitusionalisme untuk menyamakan dengan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota”
“Proses seleksi yang serentak semata-mata merupakan konsekuensi. Daerah dibentuk oleh pembentuk Undang-Undang dengan tujuan mengefektifkan manajemen penyelenggaraan pemerintahaan”
“Dalam negara kesatuan tidak dikenal urusan pemerintahan yang saling berhimpit antara pemerintah pusat dan daerah. Pranata dekonsentrasi dan medebewind, misalnya, memastikan bahwa daerah bukan entitas konstitusi yang lahir mendahului pusat”
“Daya ikat hukum yang dibuat oleh DPRD berbeda dengan DPR, begitu juga dengan sumber kewenangannya.”
“Dengan demikian, menyamakan angka ambang batas 3,5% secara nasional tidak memiliki pijakan konstitusional.”
Pertimbangan Sosiologis
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian secara alamiah. Namun demikian, dari secara substansial ketentuan tersebut tidak mengakomodasi semangat persatuan dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik di tingkat daerah. Penerapan PT untuk Pemilu calon anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota ditiadakan/dihapus karena Pemilu Anggota DPRD dimaksudkan untuk mengakomodir keberagaman, kebhinnekaan dan kekhasan aspirasi politik yang beragam di setiap daerah.
“Menimbang bahwa, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian secara alamiah. Namun demikian, dari sudut substansi, ketentuan tersebut tidak mengakomodasi semangat persatuan dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya partai politik yang tidak mencapai PT secara nasional sehingga tidak mendapatkan kursi di DPR, namun di daerah-daerah, baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, partai politik tersebut memperoleh suara signifikan yang mengakibatkan diperolehnya kursi di lembaga perwakilan masing-masing daerah tersebut. Bahkan secara ekstrim dimungkinkan adanya partai politik yang secara nasional tidak memenuhi PT 3,5%, namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal demikian akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya duduk di DPRD bukanlah calon anggota DPRD yang seharusnya jika merunut pada perolehan suaranya, atau dengan kata lain, calon anggota DPRD yang akhirnya menjadi anggota DPRD tersebut tidak merepresentasikan suara pemilih di daerahnya. Politik hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya tersebut justru bertentangan dengan kebhinnekaan dan kekhasan aspirasi politik yang beragam di setiap daerah”
“Menurut Mahkamah, pemberlakuan PT secara nasional yang mempunyai akibat hukum pada hilangnya kursi-kursi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR namun partai politik bersangkutan memenuhi ketentuan bilangan pembagi pemilih di daerah dan menjadikan kursi-kursi tersebut dimiliki partai politik lain yang sebenarnya tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih namun memiliki kursi di DPR, justru bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas, sehingga bertentangan pula dengan tujuan pemilihan umum itu sendiri yaitu untuk memilih wakil rakyat mulai dari tingkat pusat hingga daerah”
“Mahkamah juga menilai sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara bertingkat, masing-masing 3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota partai politik yang dapat menduduki kursi DPRD. Hal ini mungkin terjadi jika diasumsikan partai politik peserta Pemilu berjumlah 30 partai politik dan suara terbagi rata sehingga maksimal tiap-tiap partai politik peserta Pemilu hanya memperoleh maksimal 3,3% suara. Selain itu, terdapat pula kemungkinan di suatu daerah hanya ada satu partai politik yang memenuhi PT 3,5% sehingga hanya ada satu partai politik yang menduduki seluruh kursi di DPRD atau sekurang-kurangnya banyak kursi yang tidak terisi. Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan konstitusi yang menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang ternyata tidak tercapai karena kursi tidak terbagi habis, atau akan terjadi hanya satu partai politik yang duduk di DPRD yang dengan demikian tidak sejalan dengan konstitusi”
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon sepanjang mengenai frasa “DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 208 UU 8/2012 beralasan hukum. Dengan demikian, ketentuan PT 3,5% hanya berlaku untuk kursi DPR dan tidak mempunyai akibat hukum terhadap penentuan/penghitungan perolehan kursi partai politik di DPRD provinsi maupun di DPRD kabupaten/kota”
Pertimbangan MK di atas dalam perkara yang sama juga disampaikan oleh Dr. Saldi Isra, ketika dihadirkan sebagai saksi ahli oleh para pemohon. Menurutnya menyamakan angka ambang batas 3,5% secara nasional tidak memiliki pijakan konstitusional. Pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional menabrak prinsip otonomi daerah. Keragaman daerah akan terbungkam oleh mekanisme ambang batas parlemen secara nasional. Jika partai politik lokal tidak terpilih di DPRD, maka keragaman di daerah tidak akan terwakili.
“Pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional menabrak prinsip otonomi daerah.”
“Keragaman daerah akan terbungkam oleh mekanisme ambang batas parlemen secara nasional. Jika partai politik lokal tidak terpilih di DPRD, maka keragaman di daerah tidak akan terwakili. Sehingga yang duduk di DPRD bukan wakil pilihan rakyat.”
“Penerapan ambang batas parlemen secara nasional tidak sesuai dengan tujuan pemilihan umum. Oemilu adalah mekanisme pemindahan konflik dari masyarakat ek parlemen. Keadaan ini mengakibatkan pemindahan konflik tidak terjadi karena masyarakat lokal yang memilih partai politik lokal, ternyata partai politik lokal tersebut tidak dapat masuk parlemen.”
“Pemilihan DPRD tidak linier dengan pemilihan anggota DPR, karena pemilih bisa memilih partai A untuk DPRD tetapi memilih partai lain untuk DPR.”
“Penerapan ambang batas secara nasional berpotensi mendelegitimasi keberadaan DPRD.”
Pertimbangan Hukum
Menurut MK dalam amar putusannya menyatakan bahwa pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945 karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
……“Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945”
“Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945”
……“Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”
“Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”
Referensi:
Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009
Putusan Nomor 52/PUU-X/2012