Dari ELECTORAL THRESHOLD (ET) Menuju PARLIAMENTARY THRESHOLD (PT)
Krispianus Bheda
Divisi Sosdiklih Parmas KPU Kabupaten Manggarai Barat-Puslitbang Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Barat
Parliamentary Threshold (PT) atau ambang batas parlemen selalu menjadi topik pembahasan yang menyita perhatian publik setiap kali rencana perubahan Undang-Undang terkait pemilihan legislatif digelar. Bahkan tidak jarang melahirkan polemik, pro dan kontra. Termutakhir, polemik itu kembali mengemuka, ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum rencanakan direvisi dalam rangka menyempurnakan kerangka hukum pemilihan umum serentak tahun 2024.
Salah satunya mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR dengan para pakar pada 1 Juni 2020, dengan agenda utama mendapatkan masukan atas draft materi RUU tentang Pemilihan Umum. Empat pakar yang dihadirkan Anggota Panja dalam RDP tersebut adalah Prof. Dr. Valina Singka, Dr. Philips Vermonte, Prof. Dr. Din Syamsudin dan Prof. Ramlan Surbakti. Masing-masing Pakar dari perspektifnya masing-masing memberi pandangan yang berbeda. Prof. Dr. Valina Singka menyoal rencana menaikan PT dari 4,5% menjadi 7% bukan pilihan ideal. Menurutnya, Parliamentary Threshold 4% sudah menjadikan partai semakin pragmatis dalam proses rekruitmen caleg dan menciptakan ketidakadilan dan rekrutmen: berpihak pada calon dengan basis sosial dan kapital kuat di tingkat lokal daripada kader partai berkualitas tetapi tidak bermodal kapital kuat. Karenanya, dalam draft RUU diusulkan 7% namun mengusulkan diantara 4-5% karena PT tinggi belum menjamin melahirkan system kepartaian yang demokratis. Sementara Prof. Ramlan Surbakti menyoal tujuan diterapkannya PT. Menurutnya, ‘’ambang batas yang naik terus bukan hanya gagal mencapai system partai multi partai sederhana, akan tetapi juga menimbulkan korban suara sah. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan antar warga negara” Pandangan berbeda disampaikan Dr. Philips Vermonte, menurutnya level daerah perlu juga diterapkan PT. Tujuannya adalah memastikan terjadinya multipartai pada level nasional dan daerah yang moderat. “menyamakan ambang batas daerah dengan nasional, atau menaikan ambang batas di tingkat daerah secara bertahap, misalnya 2 sampai 2,5 persen untuk tahap awal”
Namun, pembahasan terkait PT kemudian mereda, setelah rencana revisi tersebut dibatalkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Pemerintah pada 9 Maret 2021. Kedua lembaga tersebut bersepakat untuk mengeluarkan RUU Pemilu dari daftar Prolegnas 2021.
Sebenarnya, jika hendak ditelusuri, substansi pembahasan yang dibangun dengan berbagai argumentasi, baik politik maupun yuridis sebenarnya hanya terkait dua hal yakni bertujuan untuk meniadakan PT (sebaiknya) dan/atau jika tetap ada, maka penentuan besaran PT yang akan diterapkan harus dipertimbangkan secara proposional.
Topik bahasan dan perdebatan perihal itu, tidak hanya berlangsung di ruang sidang parlemen dan atau mimbar-mimbar akademik, tetapi juga bahkan sampai ke Meja Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti diketahui, terhitung sejak PT pertama kali diterapkan pada Pemilihan Umum Tahun 2009, sudah terjadi lima kali pengujian konstitusionalitas terkait materi tersebut ke MK, walau akhirnya kesemuanya ditolak, termasuk dengan yang terakhir yang diajukan Perludem (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVIII/2020)
Berangkat dari latar belakang di atas, menjadi menarik kemudian untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini: Apa itu sebenarnya PT atau ambang batas parlemen. Bagaimana asal-usulnya. Mengapa kemudian menjadi penting untuk dibahas dan diperdebatkan. Apa maksud dan tujuan diterapkannya PT. Jawaban atas sederetan pertanyaan ini adalah subtansi dari tulisan ini.
Naskah lengkapnya dapat diunduh di sini