Hak Pilih Penyandang Disabilitas
Heribertus Panis - Ketua Divisi RENDATIN KPU Kabupaten Manggarai Barat
Umumnya di Indonesia dan khususnya di Manggarai Barat, penyandang disabilitas menjadi kelompok marjinal dan terpinggirkan diruang publik, apalagi secara jumlah sangat minoritas. Ruang publik disini dapat berupa sarana publik yang ramah dan dapat diakses oleh penyandang disabilitas, tetapi bisa juga menyasar pada ruang publik ala Habermas. Pemilu sebagai bagian dari demokrasi bisa saja dianggap ruang publik yang lain. Perhatian penyelenggara pemilu, politisi/partai politik mungkin juga pemerintah kurang dan mungkin cendrung abai pada isu disabilitas khususnya dalam konteks pemilu. Ketika disabilitas jadi atensi, seringkali yang timbul adalah rasa belas kasihan (charity based) atau bahkan cendrung mempertebal stigma dimasyarakat, walau dalam berbagai instrument hukum internasional maupun nasional hak-hak penyandang disabilitas telah dijamin.
Hak pilih warga Negara seabagaimana digariskan dalam konstitusi telah dijamin dan diakui yang secara tegas dinyatakan dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pasal ini memberi terang bahwa Negara Republik Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia tanpa terkecuali, termasuk perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas yang perlu mendapat perhatian serius dan khusus.
Oleh karena itu, upaya serius negara melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, pemerintah telah meratifikasi Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas/Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) dengan Undang-undang nomor 19 tahun 2011. Melalui Undang-undang nomor 19 tahun 2011, pemerintah mau menegaskan dan menjamin bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng sehingga harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan termasuk penyandang disabilitas. Undang-undang ini menunjukkan komitmen dan kesungguhan Pemerintah Indonesia terhadap hak Penyandang Disabilitas yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan Penyandang Disabilitas bukan berdasar atas belas kasihan (charity based). Penghormatan atas hak-hak penyandang disabilitas juga dapat dipandang sebagai bentuk pengakuan terhadap keberagaman.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa: “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”
Secara umum, sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 UU 8/2016, penyandang disabilitas setidaknya memiliki kurang lebih 22 hak termasuk didalamnya hak politik. Selanjutnya dalam pasal 13 UU nomor 8/2016 menguraikan hak politik penyandang disabilitas. Hak politik untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak adalah hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Pertanyaan kita lebih lanjut adalah bagaimana posisi politis penyandang disabilitas dalam menggunakan hak politiknya dalam pemilu. Tulisan ini mencoba mengelaborasi fenomen tersebut dengan menyoal Hambatan Dalam Penggunaan Hak Pilihnya baik hak dipilih maupun hak memilih dengan merefleksi pada peta Pemilih disabiltas di Kabupaten Manggarai Barat dalam dua pemilu terakhir yakni pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan kepala daerah 2020. Naskah selengkapnnya dapat diunduh di sini.