Hoax Harus Dilawan
Hoax dipercaya bisa jadi alat komunikasi politik di berbagai negara. Memproduksi hoax dan hate speech menjadi kebiasaan bahkan bisnis. Hoax dinilai lebih murah dan “beresiko kecil” bagi pelaku dibanding money politics. Tiga latar itulah yang menjadi medan tumbuh kembangnya Hoax. Hoax kemudian jadi Part Of The Political Game Di Era Post Truth.
Demikian penjelasan Prof. Dr. H. Henry Subiakto, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika RI Bidang Hukum dan Guru Besar FISIP, Universitas Airlangga dalam Kegiatan Konsolidasi Regional Peningkatan Partisipasi Masyarakat Pemilu 2019 Dan Pemilihan 2020 yang diselenggarakan oleh KPU Republik Indonesia, pada 28 September 2019 di Mercure Grand Mirama Hotel, Surabaya.
Di bawah judul “Hoax Politik Dan Pilpres Di Era Pasca Kebenaran (Post Truth)” Subiakto mengharapkan agar penyelenggara pemilu sanggup mengenali ciri-ciri dan cara kerja Hoax. Salah satu ciri hoax yang menyebar selama pemilu 2019 adalah mengeksploitasi konflik kelas sosial, dan kebencian berdasarkan Sara.
“Konflik antar kelas sosial, trauma masa lalu, hingga kebencian berdasar SARA yang ada di bawah sadar dipupuk dan dibangkitkan oleh hoax” terangnya.
Oleh karenanya hoax harus dilawan. Menurut Subakto, kalau hoax dibiarkan tanpa gugatan dan perlawanan akan dianggap sebagai kebenaran.
“Penyebarnya harus ditegur, dan di-counter dengan fakta dan kebenaran. Semua unsur negara harus sinergi melawan hoax”
Tidak hanya itu, Negara harus memiliki Tim komunikasi yang kuat yang bekerja atas dasar fakta dengan strategi yang cerdas, cepat dan responsif serta sinergis. Mampu melibatkan partisipasi publik dan memanfaatkan teknologi komunikasi. Memanfaatkan berbagai media dan multiplatform.
Sementara itu, Rovien Aryunia, S.Pd., M.PPO., M.M, ketua Presidium MAFINDO dalam paparannya yang berjudul “Cara Cerdas Melawan Dan Menangkal Hoaks” memberikan masukan kepada penyelanggara pemilu agar mengevaluasi secara serius persoalan Hoax di Pemilu 2019.
“KPU dan Bawaslu perlu melakukan kajian untuk mengukur dan menganalisa hoax dan ujaran kebencian berdasarkan pemilu yang sudah lalu di berbagai level” katanya.
Menurut Aryunia, dalam pilpres, semua kekuatan partai koalisi terpusat dalam pertempuran yang sama, dan kekuatan massa di sosial media juga terpusat dalam pertempuran yang sama. Maka dapat dilihat hal ini berdampak pada peningkatan hoaks politik-agama yang jauh lebih tinggi dibandingkan masa Pilkada serentak.
“Dalam pilkada, Hoaks akan menyasar hal-hal yang sifatnya sangat lekat dengan keseharian tiap daerah, dan sangat mungkin menggunakan bahasa daerah. Maka KPU dan Bawaslu perlu memiliki tim yang memahami konteks lokal tiap daerah agar dapat mendeteksi dan meresponnya” jelasnya.
Selain menghadirkan Prof. Dr. H. Henry Subiakto dan Rovien Aryunia, dalam kegiatan yang menghadirkan 368 peserta yang terdiri dari Ketua Divisi Parmas dan SDM KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota Regional lll ini, KPU RI juga menghadirkan Radar Panca Dahana dan Dr.dr. Taufik Pasiak sebagai narasumber.
Radar membahas terkait strategi meningkatkan partisipasi masyarakat dengan meminimalkan hoax dari perspektif budaya dengan menekankan pada kesadaran kritis warga negara sebagai subjek kebudayaan. Sementara itu, Dr. Taufik Pasiak membahas terkait upaya menangkal hoaks dari perspektif neurosains dengan menekankan upaya membangun imunitas personal sebagai strategi menangkal hoax.
Penulis/Editor: Humas KPU Mabar