Menyigi Problem Data Pemilih Di Dalam Kota Labuan Bajo
Heribertus Panis - Divisi Perencanaan, Data dan Informasi KPU Kabupaten Manggarai Barat
Dinamika penduduk (LAMPID) di dalam kota Labuan Bajo sangat tinggi. Dinamika penduduk yang tidak diikuti dengan administrasi kependudukan akan sangat berdampak pada pengguna data. Sebagai contoh: si A semula berada di Golo Koe kelurahan Wae Kelambu, selanjutnya si A pindah tempat tinggal ke Lancang, Kuelurahan Wae Kelambu. Perpindahan tersebut sudah pasti tidak lagi dilakukan perubahan alamat pada e-KTP dan KK, karena pindah domisili dalam desa/kelurahan. Sehingga alamat DP4 dari SIAK dan alamat pada e-KTP si A pasti tidak sesuai dengan kondisi dan fakta lapangan. Dampak selanjutnya adalah, ketika KPU Kabupaten melakukan pemetaan pemilih ke dalam TPS maka si A akan dipetakan di TPS di Golo Koe karena salah satu syarat pemetaan TPS adalah tidak memisahkan pemilih dalam satu RT kedalam TPS yang berbeda. Dasarnya adalah alamat yang tertera dalam DP4 dan e-KTP masih berada di Golo Koe.
Berangkat dari kontkes tersebut, dalam dan melalui tulisan berjudul “Menyigi Problem Data Pemilih Di Dalam Kota Labuan Bajo” Heribertus Panis, Ketua Divisi Perencanaan Data dan Informasi Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Barat menyajikan data dan fakta terkait beberapa alat ukur yang menjadi alasan penjelas kompleksnya proses pemutakhiran data pemilih di dalam Kota Labuan Bajo sambil menyandingkan dengan contoh-contoh kasus di wilayah lain di Kabupaten Manggarai Barat. Problem-problem tersebut adalah terkait pendataan Pemilih Meninggal Dunia, mekanisme Penerbitan Akta Kematian, pendataan Penduduk Pindah Keluar dan Penduduk Pindah Masuk, serta proses Perekaman e-KTP.
Menurut Heribertus Panis, problem ini penting untuk dibaca secara komprehensif untuk selanjutnya ditemukan jalan keluarnya. Karena data penduduk adalah sumber utama data pemilih. Dan Pemilih merupakan elemen krusial dalam Pemilu dan Pemilihan selain penyelenggara, peserta pemilu dan regulasi.
Menurutnya, sebagai salah satu elemen, pemilih menjadi ‘darah’ pemilu dan pemilihan, karena mengandung kedaulatan. Sisi paling fundamental mengenai posisi pemilih ini pastinya adalah berkenaan dengan hak konstitusional, hak yang melekat pada setiap warga negara dewasa yang tidak boleh dinegasikan dengan argumentasi apapun karena hak ini dialasi oleh konstitusi.
Problem data pemilih dapat dikatakan sebagai problem tersulit untuk dipecahkan, bahkan menjadi ‘misteri’ dari pemilu ke pemilu dan/atau dari pemilihan ke pemilihan. Sulit, bukan berarti tidak bisa dipecahkan. Sulit dipecahkan, karena persoalan data pemilih merupakan problem yang berjerait dengan unsur atau elemen di luar dirinya. Data pemilih adalah hilirnya dan hulunya erat kaitannya dengan dinamika atau peristiwa kependudukan. Peristiwa kependudukan yang tidak diikuti dengan tata kelola administrasi kependudukan yang berkelindan dengan rendahnya kualitas (akurat, komprehensif, mutakhir) penyajian data pemilih nantinya menempatkan tata kelola data pemilih menjadi problem yang tak berkesudahan.
Boleh jadi silang selimpat data pemilih tidak kunjung terpecahkan karena dalam perencanaan, penyusunan dan pengolahan kurang atau bahkan tidak melibatkan stakeholders utama. Stakeholders utama seperti Kepala Desa/Lurah untuk tingkat Desa/Kelurahan adalah tokoh kunci yang mengetahui dengan baik terhadap dinamika (LAMPID) penduduk setiap harinya. Pelibatan stakeholders dimaknai sebagai upaya untuk mendukung, memberi koreksi, menyempurnakan terhadap proses pemutakhiran data pemilih. Pelibatan tersebut haruslah dimulai sejak masa post election, karena tersedianya waktu yang cukup banyak dalam upaya penyempurnaan data pemilih menjelang tahapan pemilu dan/atau pemilihan. Minimal sesuai tugas dan fungsi masing-masing mengambil bagian dalam pengadministrasian data penduduk secara maksimal.
Di sisi praksis harus pula diakui, bahwa urusan pemilih sejatinya memang memiliki kompleksitas dan problematika yang khas. Jika mengurai problem tidak akuratnya data pemilih, terdapat kompleksitas dan problematika yang berhubungan erat dengan antara lain isu-isu sebagai berikut:
Pertama, pemilih merupakan subyek yang sangat dinamis. Saban hari pemilih ada yang meninggal, alih status (sipil ke TNI/Polri atau sebaliknya), pindah domisili, memasuki “usia dewasa secara politik” (masuk 17 tahun atau nikah meski belum 17 tahun), atau, karena satu dan lain alasan kemudian terjadi perubahan elemen data pemilih.
Kedua, sumber data pemilih yang harus dimutakhirkan dan disusun menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh KPU tidaklah tunggal. Setidaknya ada 3 (tiga) sumber data yang harus diolah-sinkronkan oleh KPU, yakni DPT Pemilu/Pemilihan terakhir, data hasil konsolidasi bersih dari Dirjen Dukcapil, dan data lapangan yang ditemukan pada saat kegiatan Pencocokan dan Penelitian (Coklit) oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP)/Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Data lapangan ini, secara terserak kerapkali menegasikan data hasil sinkronisasi DPT Pemilu/Pemilihan dengan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Dukcapil.
Ketiga, pekerjaan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih selalu berhadapan dengan problematika kesadaran administrasi kependudukan masyarakat yang relatif masih rendah. Beberapa temuan lapangan terkait hal ini misalnya: masyarakat tidak menganggap penting membuat laporan tentang keluarga yang meninggal, sudah 17 tahun tidak mau mengurus perekaman KTP, KTP hilang tidak lapor dan tidak meminta dibuatkan yang baru, pindah domisili tidak disertai dengan pengurusan kepindahan data Adminduknya, dan lain-lain.
Pertistiwa kependudukan (LAMPID) yang tidak diikuti dengan administrasi kependudukan sebagai penyumbang soal terhadap peliknya masalah data pemilih. Administrasi penduduk yang tidak tuntas boleh jadi karena prosesnya masih manual. Masyarakat dan petugas mesti bertemu atau tatap muka. Disisi lain, masyarakat kurang puas jika urusan administrasi kependudukan tidak langsung bertemu petugas. Hal ini kemudian diperparah dan menjadi sangat kontradiktif dengan kondisi pandemi Covid-19, mengharuskan untuk mengurangi tatap muka apalagi berkerumun.
Pandemi covid-19 telah memberi pelajaran, akan pentingnya digitalisasi proses birokrasi yang semula manual/konvensional menjadi digital. Digitalisasi yang mewarnai kehidupan bangsa saat ini harus diadopsi sebagai pilar pengelolaan administrasi kependudukan. Setiap peristiwa kependudukan harus beradaptasi dengan proses digital dengan tujuan menghasilkan proses yang lebih efisien dan efektif. Jika sekiranya Kabupaten Manggarai Barat memiliki aplikasi yang bisa digunakan oleh Kepala Desa/Lurah khususnya untuk melaporkan secara real time peristiwa kependudukan (LAMPID), maka dapat dipastikan administrasi kependudukan akan semakin sempurna atau mendekati keadaan/kondisi fakta lapangan. Akan lebih bagus lagi jika aplikasi tersebut bisa dioperasikan oleh masyarakat melalui perangkat telekomunikasi (hand phone)
Digitalisasi menuntut adanya perubahan paradigma sistem pengelolaan administrasi kependudukan dari sebelumnya berorientasi alur dokumen menjadi aliran data dan informasi secara elektronik, khususnya data dari desa/kelurahan/secara mandiri oleh masyarakat ke kabupaten. Hal ini berimplikasi pada otorisasi yang sah pada setiap tahapan dapat dilakukan secara elektronik. Informasi, sebelumnya disampaikan melalui dokumen, semestinya sekarang disampaikan secara elektronik melalui user interface dalam satu sistem.
Keempat, sumber daya manusia khususnya penyelenggara di tingkat adhoc juga memberi andil seperti: kelalaian, kurang teliti atau tidak cermat, tidak mengikuti alur kerja pemutakhiran oleh penyelenggara dalam tahapan pemutakhiran data pemilih juga menjadi sebab data pemilih yang tidak akurat. Tata cara pendaftaran pemilih yang rigit mesti menjadi code of conduct baik tersampaikan pada saat Bimtek maupun dalam buku kerja PPDP/Pantarlih. Sebagai contoh, setelah pelantikan dan Bimtek PPDP/Pantarlih, hal pertama yang dilakukan adalah berkoordinasi dengan pemerintah desa/kelurahan dan RT/RW. Katakan TPS 01 desa Batu terdiri dari RT 001, RT 002 dan RT 003, maka PPDP/Pantarlih harus bertemu dengan para RT untuk mengetahui informasi tentang penduduk dan batas-batas atau jumlah rumah dan jumlah KK. Sehingga pendataan yang dilakukan oleh PPDP tidak boleh sampai ke RT 004 dan seterusnya. Pada faktanya beberapa Pantarlih/PPDP menghalai-balaikan langkah awal ini sebelum melakukan kunjungan dari rumah ke rumah untuk menemui pemilih. Oleh karenanya, Pantarlih/PPDP tidak memiliki taswir terhadap jumlah penduduk, jumlah KK dan batas wilayah dalam lingkup RT/RW.
Membaca uraian di atas, pertanyaan kemudian adalah bagiamana Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan memberi signifikansinya. Apa saja rekomendasi yang dapat dijadikan pekerjaan rumah bersama. Selengkapnya dapat diunduh dan dibaca DI SINI, dalam dalam bentuk powerpoint dapat diunduh dan dibaca DI SINI.
Catatan:
Tulisan di atas merupakan saripati dari naskah Heribertus Panis, ST yang dipaparkan (juga dibagikan) dalam Rapat Koordinasi Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Triwulan I Tahun 2022 pada Kamis, 31 Maret 2022.