Pilkada, Pemilukada, Pilgub, Pilbup, Pilwalkot
Oleh
Yosafat Koli
Belum lama ini di kantor KPU Provinsi NTT ramai didiskusikan istilah pilkada. Dalam forum itu diperbincangkan mengapa kita semua terlibat dalam salah kaprah itu, mengingat istilah pilkada sudah tidak relevan untuk perhelatan pemilihan orang nomor satu provinsi maupun kabupaten dan kota.
Memang benar, sebutan pilkada untuk saat ini ternyata ada kekacauan. Dalam hal ini penulis berpendapat, penyebutan dalam produk aturan harus sesuai dengan istilah peruntukannya. Kapan menggunakan pilkada, pemilukada dan pilgub/pilbup/pilkot. Atas nama kelasiman dan alasan praksis, saat ini semua pihak menyebut pilkada untuk pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Benarkah ada perbedaan? Bagaimana menjelaskannya?
Sebutan pilkada sebetulnya tidak dijumpai secara langsung dalam undang-undang. Istilah ini muncul sebagai akronim dalam UU No 32 tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam aturan ini tidak ditemukan dalam kententuan umum (biasanya pada pasal 1) yang khusus menjelaskan tentang pemilihan kepala daerah. Jadi di mana bisa ditelusuri? Pada bagian kedelapan tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pasal 56 ayat (1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dan pada pasal 57 ayat (1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD. Siapakah kepala daerah itu? Pasal 24 ayat (1), menyebutkan setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. Kepala daerah, pada ayat (2), untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota.
Dengan demikian istilah pilkada dalam hal ini, berkaitan akronim pemilihan kepala daerah untuk menyebut pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati dan walikota dan wakil walikota. Pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak masuk dalam rezim pemilu. Dalam perdebatan menyusul lahirnya pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) secara langsung oleh rakyat kala itu, sempat diwacanakan agar pemilihan lokal tersebut juga menjadi bagian dari pemilihan umum. Namun rontok dengan argumen bahwa pemilihan umum hanya akan terjadi secara umum di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukan lokal daerah sehingga pilkada tidak masuk dalam rezim pemilu.
Lahirnya Undang-Undang nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum muncul istilah berbeda lagi. Ditemukan pada pasal 1 ketentuan umum, ayat (4): ”Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ternyata mulai disadari bahwa pemilihan orang nomor satu provinsi/kabupaten/kota ini juga menjadi bagian dari rezim pemilu. Sejak itu istilah pilkada kemudian berganti menjadi pemilukada. Sebutan pemilukada tepat digunakan dalam rentang waktu 2007 hingga 2011. Pemilukada pertama kali digunakan pada perhelatan politik DKI Jakarta pada 2007 silam.
Antara rezim pilkada dan pemilukada, ada perbedaan dalam penyelesaian sengketa. Kalau pilkada sengketanya diselesaikan di Mahkamah Agung (MA), maka pemilukada sengketanya diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sementara itu dalam perkembangannya tiba-tiba muncul istilah pilgub, pilbup, dan pilwalkot menggantikan istilah pemilukada. Hal ini tidak lepas dari terbitnya undang-undang baru, yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Pada pasal 1 ayat (4), disebutkan bahwa ”Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Lalu sebutan berubah menjadi pilgub, pilbup, dan pilwalkot.
Saat ini untuk melaksanakan pemilihan gubernur, bupati dan wali kota kita menggunakan undang-undang 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam pasal 1 ketentuan umum ayat (1) disebutkan, ” Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.” Aturan ini tidak menyebutkan istilah kepala daerah untuk gubernur, bupati dan walikota. Maka jika ingin membuat akronim untuk pemilihan gubernur, bupati dan walikota, kita bisa memilih sesuai jenis pemilihan, pilgub untuk pemilihan gubernur, pilbup untuk pemilihan bupati dan pilwalkot untuk pemilihan walikota.
Bahkan sampai saat ini masih ditemukan penggunaan pilkada dalam berbagai publikasi media cetak, audio, audio visual, online. Mengapa? Mungkin alasan praktis dan kelasiman dalam penyebutannya. Padahal justru membingungkan karena kepala daerah adalah sebutan untuk gubernur, bupati, dan walikota. Jika kita ingin mengatakan pilkada serentak di NTT tahun 2017 pada 3 kabupaten/kota, Lembata, Flores Timur, dan Kota Kupang, apakah itu berarti penyelenggaraan pemilihan gubenur, bupati dan walikota? Tidak bukan? Kita bisa menggunakan pilgub untuk pemilihan gubernur, pilbup untuk pemilihan bupati, dan pilwalkot untuk pemilihan walikota. Nah. (*)
*) Yosafat Koli adalah Komisioner KPU Provinsi NTT tinggal di Kupang.