Opini

Pilkada, Pemilukada, Pilgub, Pilbup, Pilwalkot

Oleh Yosafat Koli Belum lama ini di kantor KPU Provinsi NTT ramai didiskusikan istilah pilkada. Dalam forum itu diperbincangkan mengapa kita semua terlibat dalam salah kaprah itu, mengingat istilah pilkada sudah tidak relevan untuk perhelatan pemilihan orang nomor satu provinsi maupun kabupaten dan kota. Memang benar, sebutan pilkada untuk saat ini ternyata ada kekacauan.  Dalam hal ini penulis berpendapat, penyebutan dalam produk aturan harus sesuai dengan istilah peruntukannya. Kapan menggunakan pilkada,  pemilukada dan pilgub/pilbup/pilkot. Atas nama kelasiman dan alasan praksis,  saat ini semua pihak menyebut pilkada untuk pemilihan gubernur, bupati dan walikota.  Benarkah ada perbedaan? Bagaimana menjelaskannya? Sebutan pilkada sebetulnya tidak dijumpai secara langsung dalam undang-undang.  Istilah ini muncul sebagai akronim dalam  UU No 32 tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No  12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.  Dalam aturan ini tidak ditemukan dalam kententuan umum (biasanya pada pasal 1) yang khusus menjelaskan tentang pemilihan kepala daerah.  Jadi di mana bisa ditelusuri?   Pada bagian kedelapan tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pasal  56 ayat (1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,  umum,  bebas, rahasia, jujur, dan adil.  Dan pada pasal 57 ayat (1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada  DPRD.  Siapakah kepala daerah itu?  Pasal 24  ayat (1), menyebutkan setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah.   Kepala daerah,   pada ayat (2),  untuk provinsi  disebut gubernur,  untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota. Dengan demikian istilah pilkada dalam hal ini,  berkaitan akronim pemilihan kepala daerah untuk menyebut pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati dan walikota dan wakil walikota.  Pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak masuk dalam rezim pemilu.  Dalam perdebatan menyusul lahirnya pemilihan kepala daerah  (gubernur, bupati dan walikota)  secara langsung oleh rakyat kala itu,  sempat diwacanakan agar pemilihan lokal tersebut juga menjadi bagian dari pemilihan umum.  Namun rontok dengan argumen bahwa pemilihan umum hanya akan terjadi secara umum di seluruh  Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukan  lokal daerah sehingga pilkada tidak masuk dalam rezim pemilu. Lahirnya Undang-Undang nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum muncul  istilah berbeda lagi.  Ditemukan pada pasal 1 ketentuan umum, ayat (4): ”Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,  adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.  Ternyata mulai disadari bahwa pemilihan orang nomor satu provinsi/kabupaten/kota  ini juga menjadi bagian dari rezim pemilu. Sejak itu istilah pilkada kemudian berganti menjadi pemilukada.  Sebutan pemilukada tepat digunakan dalam rentang waktu 2007 hingga 2011.  Pemilukada pertama kali digunakan pada perhelatan politik  DKI Jakarta pada 2007 silam. Antara  rezim pilkada  dan pemilukada,  ada perbedaan dalam penyelesaian sengketa. Kalau pilkada sengketanya diselesaikan di Mahkamah Agung (MA), maka  pemilukada sengketanya diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara itu dalam perkembangannya  tiba-tiba  muncul istilah pilgub, pilbup, dan pilwalkot  menggantikan  istilah pemilukada.   Hal ini tidak lepas dari terbitnya undang-undang baru, yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.  Pada pasal 1 ayat (4), disebutkan bahwa ”Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Lalu sebutan berubah menjadi pilgub, pilbup, dan pilwalkot. Saat ini untuk melaksanakan pemilihan gubernur, bupati dan wali kota kita menggunakan undang-undang  8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.  Dalam pasal 1 ketentuan umum ayat (1) disebutkan,  ” Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.”  Aturan ini tidak menyebutkan istilah kepala daerah untuk  gubernur, bupati dan walikota.  Maka jika ingin membuat akronim untuk pemilihan gubernur, bupati dan walikota, kita bisa memilih sesuai jenis pemilihan, pilgub untuk pemilihan gubernur, pilbup untuk pemilihan bupati dan pilwalkot untuk pemilihan walikota. Bahkan sampai saat ini masih ditemukan penggunaan pilkada dalam berbagai publikasi media cetak, audio, audio visual, online.  Mengapa?  Mungkin alasan praktis dan kelasiman  dalam penyebutannya.  Padahal justru membingungkan karena kepala daerah adalah sebutan untuk gubernur, bupati, dan walikota.  Jika   kita ingin mengatakan pilkada serentak di NTT tahun 2017 pada 3 kabupaten/kota, Lembata, Flores Timur, dan Kota Kupang, apakah itu berarti penyelenggaraan pemilihan gubenur, bupati dan walikota? Tidak bukan?  Kita bisa menggunakan pilgub untuk pemilihan gubernur,  pilbup untuk  pemilihan bupati, dan pilwalkot untuk pemilihan walikota.  Nah. (*) *) Yosafat Koli adalah Komisioner KPU Provinsi NTT tinggal di Kupang.

Habibie Menyelamatkan Pemilu Dan Demokrasi

oleh Pramono U Tanthowi Komisioner KPU RI Pada suatu penggalan sejarah yang sangat kritis, Habibie pernah berperan besar dalam menyelamatkan pemilu dan demokrasi di Indonesia. Pemilu 1999 merupakan salah satu tonggak terpenting dalam sejarah demokrasi konstitusional Indonesia. Setelah berhasil menjatuhkan Suharto, kekuatan pro-demokrasi juga hendak menyingkirkan seluruh kroni Orde Baru. Dalam pandangan mereka, Habibie yang diangkat sebagai presiden menggantikan Suharto, adalah bagian dari anasir yang juga harus dienyahkan. Meski kurang mendapat legitimasi politik, namun Habibie menduduki jabatan presiden secara legal-konstitusional. Dengan demikian setiap upaya untuk menyingkirkannya dengan cara-cara di luar koridor adalah tindakan inkonstitusional. Untuk mengatasi krisis politik tersebut, maka tercapailah kata sepakat dalam Sidang Istimewa MPR (10-13 November 1998) untuk mempercepat pemilu pada tahun 1999, yang seharusnya jatuh pada 2002. Dalam konteks demikian, keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan Pemilu 1999 akan sangat menentukan apakah Indonesia mampu keluar dari krisis multidimensional saat itu. Oleh karenanya, semua kekuatan politik mengikuti proses Pemilu 1999 dengan penuh harap-harap cemas. Di satu sisi, kekuatan pro-status quo berharap dapat memanfaatkan pemilu untuk mempertahankan posisi mereka dalam tatanan baru politik demokratis. Di sisi lain, kekuatan pro-demokrasi berharap dapat menggunakan pemilu untuk menyingkirkan sama sekali sisa-sisa rezim Suharto dari panggung politik nasional. Dalam penyelenggaraan pemilu transisional tersebut hampir semua aturan berubah. Misalnya, peserta pemilu tidak lagi dibatasi hanya 3 parpol, sebagaimana di era Orde Baru. Sebaliknya, rakyat dibebaskan sepenuhnya untuk mendirikan partai politik. Partai-partai politik juga tidak lagi wajib menganut asas tunggal Pancasila. Boleh apa saja, sepanjang “tidak bertentangan dengan Pancasila”. Lembaga penyelenggara pemilu juga mengalami perubahan fundamental. Di masa Orde Baru, pemilu diselenggarakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Sementara fungsi Pengawas Pemilu diperankan oleh lembaga Kejaksaan. Jadi penyelenggaraan pemilu betul-betul di bawah kendali pemerintah. Tapi itu semua tidak lagi berlaku di Pemilu 1999. UU Pemilu saat itu menyatakan bahwa KPU terdiri dari wakil pemerintah dan wakil parpol. Pemerintah diwakili 5 orang. Sedangkan masing-masing parpol peserta pemilu 1999 yang berjumlah 48 berhak mengirim satu wakil. Jadi total anggota KPU berjumlah 53 orang, yang diketuai Rudini, mantan Menteri Dalam Negeri (1988-1993). Meski jumlahnya tidak berimbang, namun regulasi mengatur bahwa 5 wakil pemerintah memiliki hak suara setara dengan 48 wakil parpol. Desain kelembagaan KPU ini memang unik karena menggabungkan unsur pemerintah dan peserta pemilu. Tapi hal ini juga menyimpan bom waktu karena menyulitkan proses pengambilan keputusan. Rentan deadlock. Namun saat itu banyak orang yang memaklumi. Lagi-lagi karena desain ini merupakan hasil kompromi antara pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik baru. Nah, Pemilu 1999 diselenggarakan oleh KPU dengan model demikian. Ditambah waktu persiapan yang sangat pendek, pada awalnya banyak pihak yang pesimis. Jika kita ingat, keputusan untuk mempercepat Pemilu diambil dalam SI MPR pada 10-13 November 1998. Lalu UU Pemilu (bersama paket UU Politik lain) disahkan pada 28 Januari 1999. Sementara Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Jadi praktis, masa persiapan pemilu hanya 5 bulan. Itu mirip dengan kisah Bandung Bondowoso yg menyatakan sanggup membangun seribu candi hanya dalam satu malam. Namun sedikit demi sedikit KPU berhasil mendapatkan kepercayaan publik. Bermula ketika proses verifikasi parpol calon peserta Pemilu 1999 yang berjumlah 148 diserahkan ke Tim 11 yang independen. Tim itu diketuai Nurcholish Madjid, yang saat itu memiliki reputasi tinggi di mata publik. Dalam situasi penuh keterbatasan, tim itu dalam waktu satu bulan berhasil menyaring 48 parpol yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilu 1999. KPU saat itu juga mendapatkan pujian karena proses kampanye berjalan meriah dan aman. Hal ini berbeda dengan prediksi banyak pengamat waktu itu yang memperkirakan kampanye pemilu pertama di era kebebasan akan penuh konflik berdarah. Apalagi saat itu konflik komunal sudah meledak di Sampit (Kalbar), Poso (Sulteng), dan Ambon (Maluku). Memang ada satu dua konflik kekerasan selama masa kampanye yang terjadi di sekitar Pantura Jawa Tengah. Namun secara umum berjalan tertib. Juga di luar dugaan, proses pencoblosan relatif berlangsung jujur dan adil. Masyarakat berbondong-bondong datang ke lebih dari 300 ribu TPS untuk menunaikan hak suaranya dengan tertib. Antusiasme ini menjadi cermin bahwa rakyat betul-betul ingin merayakan kedaulatan politiknya, setelah 6 kali pemilu Orde Baru kedaulatan mereka dimanipulasi sekedar untuk memperkokoh bangunan rezim otoriter. Antusiasme tersebut kemudian terbukti dengan tingkat partisipasi pemilih mencapai 92,99%. Angka tersebut masih yang tertinggi sepanjang 4 kali pemilu di era reformasi. Namun, proses yang mulus itu tidak berlangsung lama. Bom waktu akibat dari desain kelembagaan KPU seperti telah diuraikan di atas belakangan betul-betul meledak. Semua bermula dari proses penghitungan suara yang tidak kunjung (di)selesai(kan), sehingga penetapan hasil pemilu ditunda berkali-kali. Semula publik mengira lambatnya penghitungan suara karena kehati-hatian atau menghadapi kendala teknis. Namun lambat laut terungkap bahwa keterlambatan itu akibat dari ulah wakil-wakil parpol di KPU yang berebut kursi DPR RI. UU Pemilu saat itu mengatur bahwa parpol yang mendapat kursi DPR kurang dari 2% tidak bisa ikut pemilu berikutnya. Nah, setelah mengetahui bahwa banyak parpol yang gagal mendapat kursi signifikan, maka banyak anggota KPU saling berebut kursi DPR agar partainya lolos ambang batas tersebut. Tarik-menarik itu berlangsung keras dan rumit di antara anggota KPU yang terpecah menjadi 3 kubu. Kubu pertama wakil-wakil pemerintah yang bekerja profesional. Kubu kedua wakil-wakil parpol yang bakal mendapat kursi signifikan. Dan kubu ketiga, wakil-wakil parpol gurem. Akibat tarik-menarik tersebut, penetapan hasil penghitungan suara molor berkali-kali. Awalnya dijadwalkan 8 Juli. Namun diundur menjadi 21 Juli. Karena masih saling ngotot rebutan kursi, maka proses penetapan hasil pemilu baru bisa dilaksanakan pada 26 Juli 1999. Proses penetapan itu pun tidak berjalan mulus. Sebab 27 Anggota KPU menolak menandatangani Berita Acara penetapan hasil penghitungan suara. Dari 53 Anggota KPU, hanya 22 anggota yang bersedia tanda tangan, yakni 5 wakil pemerintah dan 17 wakil parpol. Sedangkan 4 anggota lain tidak hadir. Masalahnya, dalam UU Pemilu diatur bahwa penetapan hasil pemilu dinyatakan sah jika ditandatangani sekurang-kurangnya oleh dua pertiga anggota KPU. Klausul ini lah yang dimanfaatkan oleh wakil-wakil parpol (yang bakal tidak lolos ambang batas) untuk memboikot hasil pemilu. Mereka sadar bahwa jika kurang dari 2/3 anggota KPU yg menandatangani, maka hasil Pemilu tidak bisa disahkan. Tampaknya mereka menggunakan prinsip dalam bahasa Jawa “tiji tibeh” (mati siji mati kabeh): kalau satu partai tidak mendapat kursi maka semua partai tidak boleh mendapat kursi. Karena hanya ditandatangani 22 orang anggota KPU (41,5%), maka penetapan hasil pemilu pun tidak sah. Karena hasil pemilu tidak kunjung disahkan, maka Indonesia berada di ambang krisis konstitusional. Anggota DPR baru hasil pemilu 1999 tidak bisa dilantik. Berikutnya MPR tidak bisa memilih Presiden/Wakil Presiden (saat itu Presiden/Wakil Presiden belum dipilih secara langsung). Dalam situasi seperti ini, para pengamat politik dan ahli hukum juga tidak satu suara tentang jalan konstitusional yang dapat ditempuh. Setelah berhari-hari mengalami ketidakpastian politik, pada akhirnya Habibie turun tangan pada 4 Agustus 1999. Menggunakan kewenangannya sebagai Kepala Negara, Presiden Habibie mengeluarkan Keppres No. 92/1999 untuk mengesahkan hasil Pemilu 1999. Keppres itu menetapkan hanya 21 parpol (dari 48) yang mendapat kursi di DPR. Sementara 6 parpol mendapat kursi lebih dari 2%. Sebagaimana diduga, PDIP menempati urutan teratas dengan 30,8% kursi. Disusul Partai Golkar dengan 24%, lalu PPP dengan 11,8, PKB dengan 10,2%, PAN dengan 7,6%, dan PBB dengan 2,6%. Di luar 6 parpol tersebut, UU Pemilu masih memberi jatah 38 kursi gratis bagi TNI/Polri. Langkah Presiden Habibie mengeluarkan Keppres tersebut telah menyelamatkan Pemilu 1999 dari ambang kebuntuan, dan berjasa besar untuk mengakhiri krisis konstitusional yang hampir saja menimpa bangsa Indonesia. Karena itu semua pihak memuji terobosan ini, termasuk partai-partai politik yang mendapatkan kursi di DPR. Namun pada akhirnya, politik kadang tidak kenal balas budi. Para anggota DPR hasil Pemilu 1999 yang disahkan dengan Keppres tersebut dua kali mempermalukan Habibie pada Sidang Istimewa MPR 1999. Pertama, pada saat Habibie memasuki ruang sidang MPR untuk menyampaikan pidato pertanggungjawaban. Secara norak mereka menyambut kehadirannya dengan teriakan “huuuu”. Kedua, pada 20 Oktober 1999 mayoritas anggota DPR itu juga menolak pidato pertanggungjawaban Habibie karena telah tercapai kesepakatan-kesepakatan tertentu di antara elit politik. Dan peristiwa itu lah yang memaksanya mengundurkan diri selamanya dari panggung politik nasional. Untuk mengenang jasa-jasanya di atas, maka pada 29 Desember 2014 KPU RI menganugerahkan penghargaan berupa KPU Award. Penghargaan tersebut untuk mengingatkan kita semua bahwa pada suatu penggalan sejarah yang sangat kritis, Habibie pernah berperan besar dalam menyelamatkan pemilu dan demokrasi di Indonesia. Selamat jalan, Pak Habibie. Catatan: Tulisan ini sebelumnya sudah dipublikasikan di geotimes.co.id edisi Kamis, 12 September 2019 dengan judul yang sama. 

Siapa Perempuan Dalam Pemilu 2019 Di Kabupaten Manggarai Barat?

Krispianus Bheda, SS Komisioner Divisi Parmas KPU Manggarai Barat Siapa perempuan dalam pemilu 2019 di kabupaten Manggarai Barat. Pertanyaan itu muncul pada suatu ketika, persisnya tiga bulan setelah pemilu 2019 digelar dalam sebuah diskusi ringan bersama teman-teman yang concern di bidang advokasi gender. Sebagai penyelenggara pemilu, saya terperanjat. Bagaimana tidak, dalam diskusi tersebut membentang begitu banyak soal terkait potret perempuan dalam pentas (politik) publik di Manggarai Barat. Ada yang menyoal, seberapa jauh persisnya posisi perempuan dalam ruang publik di Manggarai Barat. Di tengah sengitnya agonisme politik yang belum tentu memihak perempuan karena berbagai sebab (sosial, budaya, ekonomi dan Pendidikan) bagiamana kemudian para caleg perempuan mengasah senjata politiknya melawan caleg laki-laki. Faktanya, demikian kata teman-teman, dari ratusan perempuan yang ikut bertarung hanya satu yang kemudian terpilih. Padahal, pemilih perempuan jauh lebih banyak dari pemilih laki-laki. Siapa memilih siapa? Walau dibuat terperanjat, saya tidak banyak berkomentar. Secara pragmatik, sebagai penyelenggara pemilu, saya hanya dapat memastikan sekaligus mengevaluasi secara kritis perihal metode dan mekanisme kerja sosialisasi (tahapan) pemilu yang lebih efektif dan terlibat dalam keseharian masyarakat Manggarai Barat. Tujuannya bukan hanya untuk meningkatkan partisipasi pemilih secara kuantitatif di TPS pada hari pemungutan suara, tetapi lebih dari itu secara kualitatif memastikan tingkat partisipasi itu sebanding dengan peningkatan kualitas demokrasi. Dan perihal itu, walau sebenarnya sangat substansial, bukan pada kesempatan ini dan catatan ini untuk didedah. Dalam catatan ini, saya cukup diri hadirkan fakta dan data dalam angka-angka tentang perempuan dalam pemilihan umum yang baru saja digelar. Diharapkan angka-angka ini dapat menjadi salah satu basis penjelas atau salah satu tumpu analisis dalam menjawab pertanyaan siapa perempuan dalam pentas demokrasi (berkaca dari pemilu serentak 2019) di Kabupaten Manggarai Barat. Calon Perempuan Dalam Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2019 Sebanyak 148 calon perempuan ikut bertarung dalam pemilihan umum anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat dalam pemilihan umum tahun 2019. Dapil Manggarai Barat 1 (satu) mengirim 62 calon perempuan dari 16 Partai Politik peserta pemilu. Calon perempuan terbanyak dikirim oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berjumlah 5 orang calon (44%). Dapil Manggarai Barat 2 (dua) mengirim 42 calon perempuan dari 14 partai politik peserta pemilu (Minus partai Garuda dan Partai PBB). Partai Berkarya dan PPP masing-masing mengutus 4 calon perempuan. Partai Solidaritas Indonesia mengutus 1 calon perempuan. Dapil Manggarai Barat 3 (tiga) mengirim 44 calon perempuan dari 15 partai politik peserta pemilu (minus partai Garuda). Masing-masing partai mengutus 3 calon perempuan, kecuali PBB yang mengutus 2 calon. Daftar Calon Tetap DPRD Kab... by kpu mabar on Scribd Calon Perempuan Terpilih Dalam Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2019 Dari 148 calon perempuan yang ikut bertarung dalam pemilihan umum anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat, hanya 1 (satu) calon perempuan yang terpilih yakni peserta pemilu atas nama Hj. Andi Riski Nur Cahya D, calon cari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Nomor urut 1 Daerah Pemilihan Manggarai Barat 1 (satu) yang memperoleh suara sah sebanyak 1.960 suara. Perolehan suara sah tersebut bukan hanya menjadikan Hj. Andi Riski Nur Cahya D meraih suara terbanyak di antara para calon perempuan di semua Dapil tetapi juga meraih rangking pertama dari 12 calon terpilih yang meraih 12 kursi di Daerah Pemilihan Manggarai Barat 1 (satu). Perolehan Suara Sah Calon D... by kpu mabar on Scribd Partisipasi Pemilih Perempuan Dalam Pemilu 2019 Sejak pertama kali pemilu digelar di Kabupaten Manggarai Barat pada tahun 2004, jumlah pemilih perempuan yang terdaftar dalam setiap pemilu selalu lebih banyak dari pemilih laki-laki, termasuk dalam pemilu serentak nasional tahun 2019 yang baru saja digelar pada 17 April lalu. Dalam pemilu legisltaif tahun 2004 yang kemudian dilanjutkan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun yang sama, jumlah pemilih perempuan lebih banyak dari pemilih laki-laki. Jumlah pemilih perempuan terdaftar mencapai 53.616 pemilih, sementara pemilih laki-laki terdaftar 50.009 pemilih. Demikian juga dalam pemilihan kepada daerah pada tahun 2005, pemilih perempuan lebih banyak 3.000-an pemilih. Pemilih perempuan terdaftar 54.856 pemilih, sedangkan pemilih laki-laki 51.687 pemilih. Selanjutnya dalam pemilihan kepala daerah tahun 2015, jumlah pemilih laki-laki lebih rendah dari pemilih perempuan. Pemilih laki-laki terdaftar sejumlah 76.106 pemilih, sedangkan pemilih perempuan terdaftar 80.354 pemilih. Dalam pesta demokrasi yang digelar untuk lima jenis pemilu pada tahun 2019, tercatat dari total 172.695 pemilih yang terdaftar pada hari H, jumlah pemilih perempuan yang terdaftar sebanyak 87.017 atau lebih banyak 1.339 orang dari pemilih laki-laki yang berjumlah 85.678 pemilih. Demikian juga yang tercatat dalam daftar pengguna hak pilih. Pengguna hak pilih perempuan untuk lima jenis pemilu jauh lebih tinggi dari pemilih laki-laki. Total pengguna hak pilih dalam pemilihan presiden dan wakil presiden sebanyak 138.724 pemilih. Dari jumlah tersebut, terdapat 70.176 pemilih yang menggunakan hak pilihnya adalah pemilih perempuan. Sementara pemilih laki-laki yang menggunakan hak pilihnya hanya tercatat sejumlah 68.548 pemilih. Dalam pemilihan anggota DPR RI, dari total pemilih dalam daftar pengguna hak pilih yang berjumlah 138.460 pemilih, terdapat 70.099 pemilih diantaranya adalah perempuan. Pemilih laki-laki yang menggunakan hak pilihnya hanya berjumlah 68.361 pemilih. Dalam pemilihan anggota DPD RI, dari 138.460 pemilih yang tercatat dalam daftar pengguna hak pilih, pemilih laki-laki yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 68.371 pemilih, selebihnya yang berjumlah 70.089 pemilih adalah pemilih perempuan. Dalam pemilihan anggota DPRD Provinsi NTT Dapil IV-Manggarai Raya, khususnya di Kabuapaten Manggarai Barat, total pemilih yang yang terdaftar dalam daftar pengguna hak pilih sebanyak 138.453. Dari jumlah tersebut, pemilih perempuan yang menggunakan hak pilihnya tercatat 70.113 pemilih, sementara pemilih laki-laki yang menggunakan hak pilihnya tercatat 68.340 pemilih. Demikian juga dalam pemilihan umum anggota  DPRD Kabupaten Manggarai Barat yang menyebar di tiga daerah pemilihan. Di Daerah Pemilihan (Dapil) Manggarai Barat 1 (satu) dari total pengguna hak pilih yang berjumlah 53.053, pemilih perempuan yang menggunakan hak pilihnya lebih banyak dari pemilih laki-laki. Pemilih perempuan yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 26.692 dan pemilih laki-laki yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 26.364. Di Dapil Manggarai Barat 2 (dua) dari total pengguna hak pilih yang berjumlah 6.119, terdapat sejumlah 3.121 pemilih perempuan yang menggunakan hak pilihnya. Sementara pemilih laki yang menggunakan hak pilihnya tercatat sebanyak 2.998 pemilih. Tingkat partisipasi pemilih perempuan terbilang tinggi juga tercatat di Daerah Pemilihan Manggarai Barat 3 (tiga). Dari total pengguna hak pilih yang berjumlah 41.648 pemilih, sebanyak 21.240 yang menggunakan hak pilihnya adalah pemilih perempuan. Sementara pemilih laki-laki  tercatat di angka 20.408 yang menggunakan hak pilihnya. Pertanyaan Reflektif-Evaluatif Berangkat dari fakta dan data di atas, siapa Perempuan dalam Pemilu 2019 Di Kabupaten Manggarai Barat? pertanyaan ini bisa menjadi titik pijak untuk menjawab pertanyaan yang jauh lebih besar perihal siapa perempuan dalam pentas demokrasi di Kabupaten Manggarai Barat? Saya menyadari sungguh bahwa bentangan angka-angka di atas tidak cukup untuk menjawab pertanyaan itu. Namun saya berharap angka-angka ini dapat menjadi salah satu basis penjelas/analisis untuk dapat disandingkan dengan tumpuan penjelas yang lain (entah sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya). Harapan lain adalah, sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa sebagai penyelenggara pemilu saya hanya dapat memastikan sekaligus mengevaluasi secara kritis perihal metode dan mekanisme kerja sosialisasi kepemiluan dan demokrasi yang lebih efektif, transparan dan terlibat dalam keseharian masyarakat Manggarai Barat, yang pada ujungnya bukan hanya secara kuantitatif untuk meningkatkan partisipasi pemilih di TPS pada hari pemungutan suara, tetapi lebih dari itu secara kualitatif memastikan tingkat partisipasi itu sebanding dengan peningkatan kualitas demokrasi.*)

Penetapan Perolehan Kursi Dan Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Manggarai Barat Dalam Pemilu Tahun 2019

PENETAPAN PEROLEHAN KURSI DAN PENETAPAN CALON TERPILIH ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) KABUPATEN MANGGARAI BARAT DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019   Heribertus Panis Divisi Data dan Informasi Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Barat   PENGANTAR Pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi hasil perolehan suara dalam Pemilihan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 telah kita laksanakan. KPU Kabupaten Manggarai Barat dalam pelaksanaannya merujuk pada aturan sebagaimana telah diatur dalam PKPU nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum  sebagaimana telah diubah dalam PKPU nomor 9 Tahun 2019, dan PKPU nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum. KPU Kabupaten Manggarai Barat melaksanakan tahapan selanjutnya sebagaimana telah diatur dalam PKPU nomor 14 Tahun 2019 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Tahapan, Program, Dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019 yaitu Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum DPRD Kabupaten Manggarai Barat dalam Pemilihan Umum Tahun 2019. Hal ini merujuk pada ketentuan PKPU nomor 5  Tahun 2019. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 huruf h, Pasal 19 huruf d, Pasal 411 ayat (3), Pasal 413 ayat (3), Pasal 414 ayat (2), Pasal 415 ayat (3), Pasal 418 ayat (3), Pasal 419, Pasal 420, Pasal 421 ayat (3), Pasal 422 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 5 Tahun 2019, maka KPU Kabupaten Manggarai Barat perlu menetapkan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih DPRD Kabupaten Manggarai Barat Dalam Pemilihan Umum 2019 tingkat Kabupaten Manggarai Barat. LANDASAN HUKUM Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109); Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, Dan Penetapan Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2019 Perubahan Kelima Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Tahapan, Program, Dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019. ALOKASI KURSI Berikut disajikan alokasi kursi dari setiap Daerah Pemilihan (Dapil) tingkat Kabupaten Manggarai Barat berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 282/PL.01.3-Kpt/06/KPU/IV/2018 Tentang Penetapan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota Di Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019 Tanggal 4 April 2018. SK KPU RI 282 THN 2018 Tentang Penetapan Dapil Dan Alokasi Kursi Pemilu 2019 by kpu mabar on Scribd DAFTAR CALON TETAP Penetapan calon terpilih dalam Pemilihan Umum DPRD Kabupaten Manggarai Barat merujuk pada Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Barat Nomor 48/Kpts/KPU.Kab-018.434062/XII/2018 Tentang Perubahan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Barat Nomor 41/Kpts/KPU.Kab-018.434062/IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Manggarai Barat Dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2019. HASIL PEROLEHAN SUARA PEMILU DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) KABUPATEN MANGGARAI BARAT DALAM PEMILU TAHUN 2019  Rekapitulasi hasil perolehan suara Pemilu DPRD Kabupaten Manggarai Barat masing-masing Daerah Pemilihan telah tertuang dalam Berita Acara dan surat Keputusan sebagai berikut: Berita acara nomor 26/BA/V/2019 Tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2019 tanggal 6 Mei 2019 (DB dan DB1) Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Barat Nomor 64/Kpts/KPU.kab-018.434062/V/2019 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2019 tanggal 6 Mei 2019 (DB1) Juga diperkuat dan secara nasional ditetapkan oleh Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia nomor 987/PL.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 Tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019. PENETAPAN PEROLEHAN KURSI DPRD KABUPATEN MANGGARAI BARAT DALAM PEMILU 2019 Penetapan Perolehan Kursi DPRD Kabupaten Manggarai Barat di setiap Daerah Pemilihan dalam Pemilu Tahun 2019 ditetapkan mengikuti ketentuan Pasal 8 PKPU nomor 5 Tahun 2019 sebagai berikut: Pasal 8 KPU, KPU Provinsi, dan KPU/KIP Kabupaten/Kota menetapkan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota setiap Partai Politik pada masing-masing Dapil dalam rapat pleno terbuka dengan ketentuan: a) menetapkan jumlah suara sah setiap Partai Politik di setiap Dapil sebagai suara sah setiap Partai Politik; b) membagi suara sah setiap Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan bilangan pembagi 1 (satu), dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3 (tiga), 5 (lima), 7 (tujuh) dan seterusnya; c) hasil pembagian sebagaimana dimaksud dalam huruf b diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak; dan d) nilai terbanyak pertama mendapat kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga, dan seterusnya sampai jumlah kursi pada Dapil yang bersangkutan habis terbagi. Dalam hal hasil bagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menghasilkan angka pecahan, angka pecahan tersebut tetap diperhitungkan sebagai 2 (dua) angka desimal, Dalam hal pada pembagian untuk mendapatkan 1 (satu) alokasi kursi terakhir, terdapat 2 (dua) Partai Politik yang memperoleh suara hasil bagi yang sama, 1 (satu) alokasi kursi terakhir tersebut diberikan kepada Partai Politik dengan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Dalam hal berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masih sama, 1 (satu) alokasi kursi terakhir diberikan kepada Partai Politik yang lebih banyak suaranya pada lebih banyak TPS. Dalam hal terdapat Partai Politik yang memperoleh suara tetapi tidak memiliki calon anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota dalam DCT Partai Politik di suatu Dapil, tidak diikutkan dalam penghitungan alokasi kursi pada Dapil yang bersangkutan. Penetapan perolehan kursi DPRD tertuang dalam Formulir mode E1 dan E1.1 Kab/Kota lampiran PKPU nomor 5 Tahun 2019. Daerah Pemilihan Manggarai Barat 1 Model E1 Daerah Pemilihan Manggarai Barat 2  Model E1 Daerah Pemilihan Manggarai Barat 3 Model E1 Penetapan Rekapitulasi Perolehan Kursi dari masing-masing Partai Politik (Dapil Mabar 1 + Dapil Mabar 2 + Dapil Mabar 3) PENETAPAN CALON TERPILIH ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) KABUPATEN MANGGARAI BARAT DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019 Penetapan Calon Terpilih DPRD Kabupaten Manggarai Barat di setiap Daerah Pemilihan dalam Pemilu Tahun 2019 ditetapkan mengikuti ketentuan Pasal 12 PKPU nomor 5 Tahun 2019 sebagai berikut: Pasal 12 Penetapan calon terpilih anggota DPRD Kabupaten/Kota didasarkan atas perolehan kursi Partai Politik dan suara sah calon yang tercantum dalam DCT anggota DPRD Kabupaten/Kota di setiap Dapil, yang dilakukan dalam rapat pleno terbuka. Penetapan calon terpilih anggota DPRD Kabupaten/Kota di setiap Dapil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas peringkat suara sah terbanyak pertama, kedua, ketiga dan seterusnya yang diperoleh setiap calon anggota DPRD Kabupaten/Kota sesuai perolehan kursi Partai Politik pada Dapil yang bersangkutan. Penetapan Calon terpilih anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat dalam Pemilu Tahun 2019 masing-masing daerah pemilihan tertuamg dalam Formulir E1.2 Kab/Kota Lampiran PKPU nomor 5 Tahun 2019. Daerah Pemilihan Manggarai Barat 1 model E1.2Daerah Pemilihan Manggarai Barat 3 model E1.2 Daerah Pemilihan Manggarai Barat 2 model E1.2 PENUTUP Setelah Penetapan perolehan kursi dan calon terpilih anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat selanjutnya akan diusulkan kepada Gubernur NTT untuk dilantik menjadi anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat Periode 2019-2024.