Opini

Pentingnya Partisipasi Publik Dalam Implementasi Pengawasan Internal Yang Dilaksanakan Oleh KPU Kabupaten/Kota

Oleh Ponsianus Mato Divisi Hukum dan Pengawasan KPU kab.Manggarai Barat.   Diskusi tentang pemilu 2024 sudah mulai dikumandangkan baik secara formal yang dilakukan oleh Penyelenggara, Pemerintah maupun DPR dalam bentuk konsinyansi dan RDP maupun non formal yang dibangun oleh Pegiat Pemilu, pengamat dan masyarakat politik di Indonesia. Topik Pemilu dan Pemilihan serentak diwacanakan sejak dini, karena merupakan issue politik dan demokrasi yang penting. Pemilu dan Pemilihan merupakan sarana kedaulatan rakyat yang ditrasformasikan sebagai rotasi kekuasaan baik eksekutif maupun legislative. Secara teknis diskusi ini disuguhkan sejak awal karena pemilu tahun 2024 bisa berjalan secara optimal tidak lepas dari kesiapan penyenggara. Karenanya wacana-wacana teknis dikomunikasikan sejak awal. Agar kemudian Penyelenggara Pemilu/Pemilihan sebagai garda terdepan penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan dapat menemukan instisari dalam mengambil kebijakan dalam mewujudkan Pemilu dan Pemilihan yang demokratis, artinya yang bersesuaian dengan asas penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan yang digariskan dalam peraturan perundang-undang tentang Pemilu dan Pemilihan. Dalam upaya mewujudkan pemilu yang demokratis, peran penyelenggara Pemilu sangat penting dan strategis, sebagaimana yang diuraikan oleh IDEA yakni untuk menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait dengan proses pemilu sesuai dengan kerangka hukum  dikonsepsikan sebagai kondisi di mana seluruh prosedur dan tindakan penyelenggara dilakukan sesuai regulasi pemilu yang berlandaskan pada prinsip-penyenggara Pemilu (KPU). Namun pada faktanya, tidak dapat dihindari bahwa penyelenggara Pemilu dapat secara nyata terjebak dalam persoalan-persoalan disintegritas sebagai misal melakukan kecurangan, berafiliasi dengan peserta pemilu dan lain-lain. Sebagai misal dalam Pemilu 2019 di Daerah Pemilihan Kabupaten Manggarai Barat ditemukan kasis salah satu anggota PPS terbukti melakukan tindak pidana pemilu dan telah dihukum penjara yang selanjutnya dipecat sebagai penyelenggara pemilu di tingkat desa. Kasus lain di Pemilu yang sama adalah terjadi PSU karena karena penyelenggara ad hock (KPPS) terbukti membagi surat suara sisa. Namun demikian, tulisan ini tidak dimaksud untuk kembali menyoal kasus-kasus di atas, tetapi diangkat dengan tujuan agar publik mengetahui mekanisme pengawasan internal KPU terhadap Panitia adhoc dan sebagai media informasi kepada public untuk menyalurkan haknya sebagai warga negara apabila baik langsung maupun tidak langsung dirugikan kepentingannya. Hal ini penting karena Panitia adhoc adalah memiliki posisi yang strategis dan krusial yang rentan rentan menjadi pelaku kecurangan pemilu (election fraud) karena memiliki akses untuk bersentuhan langsung dengan peserta pemilu dan alat kebutuhan pelaksanaan pemilu, mulai dari TPS hingga surat suara. Tulisan ini secara khusus fokus pada pengawasan internal, khususnya terkait pengawasan internal yang dilaksanakan oleh KPU Kabupaten/Kota Mekanisme Pengawasan Internal Yang Dilaksanakan Kpu Kabupaten/Kota Pengawasan adalah proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan. Berdasarkan ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota ditegaskan Pasal 101 bahwa: (1) KPU Kabupaten/Kota melakukan Pengawasan Internal terhadap anggota PPK, PPS, dan KPPS. (2) Pengawasan Internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap dugaan pelanggaran Pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji, dan pakta integritas. Berdasarkan Rujukan tersebut diatas KPU kabupaten memiliki peran untuk melaksanakan pengawasan internal panitia adhoc dengan mekanisme dan prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun tujuan dari pengawasan internal KPU kabupaten yaitu pertama memastiikan semua Tindakan yang dilakukan oleh panitia adhoc sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggara pemilu, kedua memastikan yang dilakukan oleh panitia adhoc sesuai dengan program,jadwal dan tahapan pemilu maupun pemilihan Adapun mekanisme pengawasan internal KPU kabupaten/Kota terhadap panitia adhoc yaitu:  Pertama, KPU Kabupaten/Kota membuka kesempatan untuk menerima Laporan dan/atau Pengaduan. Pengaduan dapat disampaikan oleh berbagai pihak baik Penyelenggara Pemilu; Peserta Pemilu; pemantau Pemilu; tim kampanye; dan/atau masyarakat dan/atau pemilih. Pengaduan dan/atau laporan dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Laporan dan/atau pengaduan yang disampaikan secara langsung artinya dapat membawa laporan tersebut disertakan dengan alat buktinya kepada KPU Kabupaten/Kota. Sementara laporan dan/atau pengaduan tidak langsung dapat dilakukand dengan surat elektronik. Kedua, terhadap laporan dan/atau pengaduan yang masuk KPU Kabupaten/Kota melakukan Rapat Pleno selanjutnya melakukan verifikasi dan klarifikasi. Ketiga, Dalam hal ditemukan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPK, PPS, dan KPPS, KPU Kabupaten/Kota menindaklanjuti dengan membentuk Tim Pemeriksa. Tim Pemeriksa menyampaikan hasil penelitian dan kajian materi serta pemeriksaan laporan dan/atau pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota PPK, PPS, dan KPPS kepada KPU Kabupaten/Kota dalam Rapat Pleno. Keempat, dalam hal dugaan pelanggaran oleh PPK, PPS, dan KPPS tidak terbukti yang bersangkutan diberikan rehabilitasi dan diumumkan dalam laman KPU Kabupaten/Kota dan disampaikan ke pengadu/pelapor dan teradu/terlapor. Atau  dalam hal dugaan pelanggaran oleh PPK, PPS, dan KPPS terbukti, KPU Kabupaten/Kota memberikan sanksi berupa peringatan tertulis; atau pemberhentian sementara. Partisipasi Publik Mekanisme kerja pengawasan internal sebagaimana diuraikan di atas perlu diketahui oleh Publik. Tujuannya adalah dalam rangka mempersiapkan Pemilu dan pemilihan 2024 yang sangat kompleks sebagai penyelenggara sangat dibutuhkan panitia adhoc yang berintegritas. Karenanya, pada hakikatnya, kesempurnaan kinerja penyelenggara pemilihan, menjadikan hal ini sebagai salah satu indikator penting sekaligus menjadi tantangan besar bagi KPU, maka untuk menjawab tantangan itu, public memiliki peran untuk mengawasi baik dalam proses perekrutan maupun kinerja panitia adhoc. Proses perekrutan terbuka yang dilakukan KPU Kabupaten/Kota memiliki jangkauan yang terbatas untuk mengetahui secara faktual track record calon-calon penyelanggara ad hock. Karenanya perlu keterlibatan dan peran serta public.  Dalam tahapan ini KPU Kabupaten/Kota membuka ruang dan kesempatan luas bagi publik untuk berperan atau berpartisipasi aktif antara lain pertama, memberikan informasi, catatan, tanggapan serta masukan terkait pemenuhan syarat calon anggota Badan ad hoc yang diumumkan KPU Kabupaten/Kota. Kedua, Melakukan pengawasan partisipatif proses rekrutmen dan kinerja Badan ad hoc, Ketiga, Mendaftarkan diri dan mengikuti kompetisi dalam  rekrutmen sebagai calon Badan ad hoc. Akhirnya, sesuatu yang luar biasa apabila formasi Badan ad hoc diisi oleh tokoh-tokoh muda peduli pada kepemiluan dan demokrasi, dan apalagi memiliki integritas yang baik dan memiliki kemampuan penguasan Teknologi Informasi  serta memami karakteristik wilayah sehingga dalam mengemban tugas, fungsi, kewajiban serta tanggungjawabnya sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan di tahun 2024.   Referensi: Oliver Joseph & Frank McLoughlin,Op.Cit,H.8,IDEA Keadilan Pemilu:Ringkasan Buku Acuan International IDEA, Jakarta Indonesia Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota

Ketentuan Penataan Dapil DPRD Kabupaten/Kota Dalam Pemilu

Heribertus Panis Divisi Perancaan, Data dan Informasi Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Barat   Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak Tahun 2024 sebentar lagi akan dimulai. Merujuk pada pasal 167 ayat 6 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum  (UU Pemilu) bahwa tahapan penyelenggaraan Pemilu dimulai paling lambat 20 (Dua Puluh) bulan sebelum hari pemungutan suara. Walaupun sampai dengan tulisan ini dibuat, kesepakatan jadwal Pemilu 2024 belum ada titik temu.  Namun antara KPU, Komisi II DPR RI dan Pemerintah masih terus melakukan konsinyansi. Dipastikan dalam beberapa saat kedepan, hasil kesepakatan jadwal Pemilu 2024 pasti akan terjawab. Namun tulisan ini tidak sedang membahas topik tersebut. Fokus tulisan ini adalah pada salah satu tahapan penting dalam Penyelenggaraan Pemilu, yakni terkait Penataan Daerah Pemilihan (Dapil). Karenanya, tulisan sebagai pengetahuan bersama sebagai persiapan menyongsong Pemilu serentak 2024. Dasar Hukum Ketentuan Penataan Dapil DPRD Kabupaten/Kota Salah satu tahapan penting dalam Pemilu sebagaimana disebutkan dalam pasal 167 ayat 4 huruf e UU Pemilu adalah terkait penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan. Selanjutnya dalam UU yang sama, pasal 192 ayat 4 menyebutkan  bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai daerah pemilihan (Dapil) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota diatur dalam Peraturan KPU. Berbeda dengan Dapil DPR RI dan DPRD Provinsi, yang sudah ditetapkan dan menjadi lampiran dalam UU Pemilu, Dapil DPRD Kabupaten/Kota tidak dicantumkan dalam lampiran. Oleh karena itu, KPU RI melalui Perarutan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 16 Tahun 2017 mengatur lebih lanjut tentang tata cara pembentukan daerah pemilihan untuk Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang secara teknis dijabarkan secara lebih kongkret dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 18/PP.02-Kpt/03/KPU/I/2018 Tentang Petunjuk Teknis Penataan Daerah Pemilihan Dan Alokasi Kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum Prinsip-Prinsip Penataan Dapil DPRD Kabupaten/Kota Setidaknya terdapat 7 prinsip dasar dalam Penataan Dapil DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu sebagaimana  ketentuan pasal 185 UU Pemilu jo pasal 4 PKPU 16 Tahun 2017 yang secara detail jabarkan dalam Keputusan KPU No. 18/PP.02-Kpt/03/KPU/I/2018 tentang Juknis Penataan Dapil DPRD Kabupaten/Kota. Pertama, prinsip kesetaraan nilai suara yaitu mengupayakan nilai suara atau harga kursi yang setara antara 1 (satu) Dapil dengan Dapil lainnya dengan prinsip 1 (satu) orang, 1 (satu) suara, 1 (satu) nilai.  Kedua, prinsip ketaatan pada sistem Pemilu yang proporsional yaitu memperhatikan ketaatan dalam pembentukan Dapil dengan mengutamakan jumlah kursi yang besar agar persentase jumlah kursi yang diperoleh setiap Partai Politik dapat setara dengan persentase suara sah yang diperolehnya. Ketiga, prinsip proporsionalitas yaitu memperhatikan kesetaraan Alokasi Kursi antar Dapil untuk menjaga perimbangan Alokasi Kursi setiap Dapil. Keempat, prinsip integralitas wilayah yaitu memperhatikan keutuhan dan keterpaduan wilayah, kondisi geografis, sarana perhubungan, dan aspek kemudahan transportasi dalam menyusun beberapa daerah kecamatan ke dalam 1 (satu) Dapil. Kelima, prinsip berada dalam satu wilayah yang sama yaitu penyusunan Dapil Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terbentuk dari satu, beberapa, dan/atau bagian kecamatan harus tercakup seluruhnya dalam suatu Dapil Anggota DPRD Provinsi. Keenam, prinsip kohesivitas yaitu penyusunan Dapil memperhatikan sejarah, kondisi sosial budaya, adat istiadat, dan kelompok minoritas. Ketujuh, prinsip kesinambungan yaitu penyusunan Dapil memperhatikan penetapan Dapil pada Pemilu Terakhir, kecuali terjadi perubahan jumlah penduduk yang mengakibatkan Alokasi Kursi dalam 1 (satu) Dapil melebihi batas maksimal dan/atau kurang dari batas minimal, adanya pemekaran wilayah, dan Dapil yang telah disusun bertentangan dengan prinsip penataan Dapil. Penataan Dapil DPRD Kabupaten Manggarai Barat Dalam Pemilu 2019 Menindaklanjuti Ketentuan Peraturan Perundang-undangan di atas, selanjutnya, Kabupaten Manggarai Barat dalam Pemilu tahun 2019 menetapkan 3 (tiga) Dapil sebagaimana tertuang dalam lampiran I.16 Keputusan KPU RI Nomor 282/PL.01.3-Kpt/06/KPU/IV/2018 tanggal 4 April 2018 tentang Penetapan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota DPRD Provinsi NTT dan Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi NTT Dalam Pemilu Tahun 2019. Data kependudukan dan data wilayah menjadi sumber data utama dalam penyusunan Dapil Pemilu DPRD Kabupaten. Jumlah penduduk semester kedua Tahun 2017 di Kabupaten Mangagrai Barat sebanyak 256.491 jiwa, maka merujuk pada ketentuan pasal 191 ayat 2 huruf c UU Pemilu junto pasal 8 ayat 2 huruf c PKPU nomor 16 tahun 2017, mengatur bahwa kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 200.000 (dua ratus ribu) orang sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) orang memperoleh alokasi 30 (tiga puluh) kursi. Penentuan jumlah alokasi kursi tiap kecamatan didahului dengan menentukan Bilangan Pembagi Penduduk (BPPd) yaitu jumlah penduduk dalam satu kabupaten dibagi alokasi kursi seluruhnya. Selanjutnya, jumlah penduduk tiap kecamatan dibagi BPPd, maka diperoleh alokasi kursi untuk kecamatan tersebut. Alokasi kursi yang telah diperoleh dimasing-masing kecamatan kumudian digabung untuk menjadikan satu daerah pemilihan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip penataan dapil sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Jumlah minimal kursi dalam satu dapil paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 12 kursi. Jika hasil bagi jumlah penduduk satu kecamatan dibagai BPPd kurang dari 3, maka kecamatan tersebut digabungkan dengan kecamatan lain untuk membentuk suatu daerah pemilihan. Peran KPU Kabupaten/Kota Dalam tahap ini, KPU Kabupaten/Kota mempunyai peran strategis dalam usulan penataan Dapil dan alokasi kursi setiap Dapil. Pelibatan multi pihak dalam proses ini sangatlah penting demi menghasilkan usulan Dapil yang ideal tetapi dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip penataan Dapil. Secara sederhana langkah-langkah penyusunan dan penataan dapil yaitu: KPU Kabupaten/Kota menyusun rancangan penataan usulan Dapil dan alokasi kursi setiap Dapil dengan memperhatikan Keputusan KPU RI tentang jumlah alokasi kursi DPRD Kabupaten/Kota. Setelah dilakukan penyusunan dan penataan Dapil, KPU Kabupaten memaparkan rancangan tersebut dalam kegiatan uji publik yang melibatkan peserta dari berbagai unsur: Pemerintah Daerah, Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota, Bawaslu Kabupaten/Kota, pemantau pemilu, dan/atau pemangku kepentingan lainnya. Selanjutnya, KPU Kabupaten/Kota melakukan rapat pleno untuk menyusun usulan Dapil dan alokasi kursi setiap Dapil dengan memperhatikan hasil uji publik. Usulan tersebut kemudian disampaikan kepada KPU RI melalui KPU Provinsi. Sebelum ditetapkan dalam surat keputusan, terlebih dahulu KPU RI melakukan konsultasi dengan DPR RI terhadap usulan Dapil dan alokasi kursi dengan memperhatikan usulan dari KPU Kabupaten/Kota. Menuju Pemilu Tahun 2024 Jelang pemilu tahun 2024 di Kabupaten Manggarai Barat penting untuk membuka diskursus terkait penataan Dapil Pemilu DPRD Kabupaten/Kota. Pembicaraan publik terhadap penataan Dapil disertai berbagai macam pertimbangan dan pandangan tentu akan sangat dibutuhkan untuk mematangkan usulan penataan Dapil nantinya. Sekalipun pada akhirnya tidak ada perubahan atau semacam penataan ulang Dapil jika tahapannya tiba. Namun, bagi saya diskusi ini akan sangat bermanfaat bagi masyarakat terutama bagi penyelenggara Pemilu. Tahapan Pemilu nantinya akan menuntun semua pembicaraan publik terkait penataan Dapil melalui forum uji publik yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten/Kota. Secara normatif, KPU Kabupaten/Kota akan berpedoman pada prinsip-prinsip penataan Dapil sebagaimana telah diatur dalam PKPU 16 Tahun 2017. Diskursus sejak awal terkait penataan Dapil diharapkan melahirkan serta membuka percakapan publik akan maksud, tujuan, manfaat dan latar belakang penataan Dapil. Pertimbangan dan alasan, singkatnya argumentasi yang dikemukakan hendaknya berpedoman dan/atau mengacu kepada prinsip-prinsip penataan Dapil. Alasan lain yang melatarbelakangi penataan ulang Dapil juga pada dasarnya tidak dilarang, sejauh masih bersesuaian dengan ketentuan normatif. Percakapan publik tersebut sangat bermanfaat dalam rangka memperkaya argumentasi serta memudahkan KPU Kabupaten menyusun usulan penataan Dapil ke KPU RI. Oleh karena itu, mulai dari sekarang, sebagai penyelenggara, saya memandang penting publik Manggarai Barat mulai mempercakapkan penataan Dapil, walau tahapannya belum dimulai. Saat ini KPU tidak disibukkan dengan tahapan pemilu atau pemilihan, namun bukan berarti tidak ada aktivitas sama sekali, justru KPU Kabupaten dalam masa post election berbagai persiapan-persiapan penting sedang dilakukan jelang pemilu dan pemilihan tahun 2024. Oleh karenanya, KPU Kabupaten Manggarai Barat sangat berharap masukan, evaluasi atau apapun bentuknya dari masyarakat menyonsong pemilu dan pemilihan tahun 2024. Peran Publik Peran serta multipihak termasuk masyarakat politik secara luas dalam tahap persiapan pemilu dan pemilihan mungkin saja menjadi hal baru. Meningkatnya peran dan konsentrasi publik terhadap Pemilu dan Pemilihan pada umumnya ketika masuk masa kampanye (atau secara umum dalam election period). Padahal dalam siklus Pemilu, baik pra-election, election periode maupun post election, peran serta publik baik yang dilibatkan maupun yang melibatkan diri menjadi sebuah keharusan. Apalagi terkait topik-topik penting termasuk di dalamnya terkait penataan Dapil, karena persiapan Pemilu (dan/atau pemilihan) tidak hanya menjadi medan kerja peyelenggara Pemilu/Pemilihan tetapi secara ‘berjamaah’ menjadi kegiatan bersama semua pihak termasuk masyarakat politik. Perihal itu secara tegas tertuang dalam peruaturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilu dan/atau Pemilihan. Saya menyebut beberapa, diantaranya dalam Pasal 434, UU 7/2017 tentang Pemilu jo Pasal 133A UU 10/2016 tentang Pemilihan Umum disebutkan Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah yakni mulai dari memberikan bantuan fasilitas, sarana dan personil sampai dengan pelaksanaan sosialiasi dan kegiatan Pendidikan politik/mengembangkan kehidupan demokrasi kepada pemilih dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih. Dalam Pasal 435, UU 7/2017 tentang Pemilu jo Pasal 123 UU 10/2016 tentang Pemilihan mengatur terkait peran Organisasi Kemasyarakat/LSM untuk dapat menjadi pemantau Pemilu/Pemilihan. Juga, dalam Pasal 448-449 UU 7/2017 tentang Pemilu jo Pasal 131-133 tentang Pemilihan mengatur terkait Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan. Partisipasi Masyarakat dapat berupa sosialiasi pemilu/pemilihan, Pengawasan, Pendidikan politik bagi pemilih, mendaftar sebagai pelaksana survey atau jajak pendapat, penghitungan cepat hasil pemilu/pemilihan. Ringkasnya dalam konteks peran publik, percakapan publik terhadap semua tahapan Pemilu/Pemilihan termasuk tahap penataan dapil merupakan sebuah keniscayaan, sebagai bukti peran serta masyarakat dalam persiapan Pemilu tahun 2024. Dalam pandangan penulis, jika masyarakat sejak awal diikutsertakan dan mengikutsertakan dalam persiapan Pemilu dan Pemilihan maka penyelenggaraan pesta demokrasi tahun 2024 semakin baik. Karena, jika peran publik semakin meningkat dalam tahapan dan terutama pra tahapan maka hasilnya paling tidak akan berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas demokrasi secara keseluruhan. Referensi: Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penataan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Umum Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor: 18/PP.02-Kpt/03/KPU/I/2018 Tentang Petunjuk Teknis Penataan Daerah Pemilihan Dan Alokasi Kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 282/PL.01.3-Kpt/06/KPU/IV/2018 tanggal 4 April 2018 tentang Penetapan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota DPRD Provinsi NTT dan Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi NTT Dalam Pemilu Tahun 2019.

Basis-Basis Argumentasi Parliamentary Threshold Hanya Untuk Pemilu Anggota DPR RI

Krispianus Bheda Divisi Sosdiklih Parmas KPU Kabupaten Manggarai Barat-Puslitbang Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Barat Pengaturan terkait Parliamentary Threshold (PT) tidak diberlakukan untuk Pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, tetapi hanya untuk Pemilihan Umum Anggota DPR RI. Ketentuan tersebut sudah berlaku sejak Pemilihan Umum Tahun 2009 sebagaimana tertuang dalam Pasal 202 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menjadi dasar hukum Pemilu 2009. Dalam Pasal 202 disebutkan: "1. Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota." Dalam Pemilu 2014, kemudian diberlakukan lagi, namun bukan hanya untuk DPR tetapi juga untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, menerapkan PT secara flat dari nasional/pusat (untuk penentuan kursi DPR RI) sampai ke daerah (untuk penentuan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/ kota. Perihal ini tertuang dalam Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menjadi dasar Pemilu 2014.“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.” Namun, terhadap ketentuan tersebut, banyak pihak khususnya Partai Politik yang mengajukan keberatan karena dipandang tidak hanya bertentangan secara hukum (terhadap UUD 1945), tetapi juga mencederai prinsip otonomi daerah dan tidak mengakomodir keberagaman dan kebhinekaan politik daerah. Keberatan tersebut diantaranya diajukan oleh 17 (tujuh belas) Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi kemudian memutuskan untuk meniadakan dan/atau menghapus frasa “…DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.” Berdasarkan putusan tersebut, pemberlakuan PT untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2014 dengan demikian ditiadakan. Pertanyaannya adalah apa saja argumentasi yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 52/PUU-X/2012 yang dibacakan pada Rabu, 29 Agustus 2012 tersebut. Tulisan ini mencoba untuk menyajikan kembali dasar-dasar pertimbangan tersebut. Pertimbangan Politik Dengan merujuk pada Putusan sebelumnya yaitu Putusan MK Nomor 3/PUU-VII/2009, MK berpendapat bahwa perlakuan yang berbeda bagi calon anggota DPR yang dikenai kebijakan PT bagi Parpol untuk menempatkan wakilnya di DPR, dengan tidak diberlakukan bagi penentuan kursi anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota merupakan kebijakan yang tepat. Menurut MK kedudukan DPRD dalam system ketatanegaraan memang berbeda dengan DPR yang bersifat nasional yang dalam kapasitasnya memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Alasan pertimbangan lain adalah karena secara politik kekuasaan DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah masih dapat dikontrol oleh Pemerintah (pusat). “... Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 melanggar prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, karena menurut para Pemohon ada perlakuan yang berbeda bagi calon anggota DPR yang dikenai kebijakan PT bagi Parpol untuk menempatkan wakilnya di DPR, sedangkan ketentuan tersebut tidak diberlakukan bagi penentuan kursi anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa kebijakan tersebut sudah tepat, karena kedudukan DPRD dalam sistem ketatanegaraan memang berbeda dengan DPR yang bersifat nasional dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang [Pasal 20 ayat (1) UUD 1945], serta menjadi penyeimbang kekuasaan Presiden dalam sistem checks and balances, lagipula kekuasaan DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah masih dapat dikontrol oleh Pemerintah (pusat). Dalam hal ini, Mahkamah juga sependapat dengan argumentasi DPR, Pemerintah, dan ahli dari Pemerintah, bahwa ketentuan PT yang hanya berlaku bagi penentuan kursi DPR dan tidak berlaku bagi penentuan kursi DPRD, bukanlah kebijakan yang diskriminatif, melainkan justru kebijakan yang proporsional” Pertimbangan MK di atas dalam perkara yang sama juga disampaikan oleh Dr. Margarito Kamis, ketika dihadirkan sebagai saksi ahli oleh para pemohon. Menurutnya menyamakan angka ambang batas 3,5% secara nasional tidak memiliki pijakan konstitusional. “DPR, karena jangkauan fungsinya tidak mungkin dijadikan pijakan membangun nalar konstitusionalisme untuk menyamakan dengan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota” “Proses seleksi yang serentak semata-mata merupakan konsekuensi. Daerah dibentuk oleh pembentuk Undang-Undang dengan tujuan mengefektifkan manajemen penyelenggaraan pemerintahaan” “Dalam negara kesatuan tidak dikenal urusan pemerintahan yang saling berhimpit antara pemerintah pusat dan daerah. Pranata dekonsentrasi dan medebewind, misalnya, memastikan bahwa daerah bukan entitas konstitusi yang lahir mendahului pusat” “Daya ikat hukum yang dibuat oleh DPRD berbeda dengan DPR, begitu juga dengan sumber kewenangannya.” “Dengan demikian, menyamakan angka ambang batas 3,5% secara nasional tidak memiliki pijakan konstitusional.” Pertimbangan Sosiologis Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian secara alamiah. Namun demikian, dari secara substansial ketentuan tersebut tidak mengakomodasi semangat persatuan dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik di tingkat daerah. Penerapan PT untuk Pemilu calon anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota ditiadakan/dihapus karena Pemilu Anggota DPRD dimaksudkan untuk mengakomodir keberagaman, kebhinnekaan dan kekhasan aspirasi politik yang beragam di setiap daerah. “Menimbang bahwa, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian secara alamiah. Namun demikian, dari sudut substansi, ketentuan tersebut tidak mengakomodasi semangat persatuan dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya partai politik yang tidak mencapai PT secara nasional sehingga tidak mendapatkan kursi di DPR, namun di daerah-daerah, baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, partai politik tersebut memperoleh suara signifikan yang mengakibatkan diperolehnya kursi di lembaga perwakilan masing-masing daerah tersebut. Bahkan secara ekstrim dimungkinkan adanya partai politik yang secara nasional tidak memenuhi PT 3,5%, namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal demikian akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya duduk di DPRD bukanlah calon anggota DPRD yang seharusnya jika merunut pada perolehan suaranya, atau dengan kata lain, calon anggota DPRD yang akhirnya menjadi anggota DPRD tersebut tidak merepresentasikan suara pemilih di daerahnya. Politik hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya tersebut justru bertentangan dengan kebhinnekaan dan kekhasan aspirasi politik yang beragam di setiap daerah” “Menurut Mahkamah, pemberlakuan PT secara nasional yang mempunyai akibat hukum pada hilangnya kursi-kursi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR namun partai politik bersangkutan memenuhi ketentuan bilangan pembagi pemilih di daerah dan menjadikan kursi-kursi tersebut dimiliki partai politik lain yang sebenarnya tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih namun memiliki kursi di DPR, justru bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas, sehingga bertentangan pula dengan tujuan pemilihan umum itu sendiri yaitu untuk memilih wakil rakyat mulai dari tingkat pusat hingga daerah” “Mahkamah juga menilai sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara bertingkat, masing-masing 3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota partai politik yang dapat menduduki kursi DPRD. Hal ini mungkin terjadi jika diasumsikan partai politik peserta Pemilu berjumlah 30 partai politik dan suara terbagi rata sehingga maksimal tiap-tiap partai politik peserta Pemilu hanya memperoleh maksimal 3,3% suara. Selain itu, terdapat pula kemungkinan di suatu daerah hanya ada satu partai politik yang memenuhi PT 3,5% sehingga hanya ada satu partai politik yang menduduki seluruh kursi di DPRD atau sekurang-kurangnya banyak kursi yang tidak terisi. Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan konstitusi yang menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang ternyata tidak tercapai karena kursi tidak terbagi habis, atau akan terjadi hanya satu partai politik yang duduk di DPRD yang dengan demikian tidak sejalan dengan konstitusi” “Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon sepanjang mengenai frasa “DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 208 UU 8/2012 beralasan hukum. Dengan demikian, ketentuan PT 3,5% hanya berlaku untuk kursi DPR dan tidak mempunyai akibat hukum terhadap penentuan/penghitungan perolehan kursi partai politik di DPRD provinsi maupun di DPRD kabupaten/kota” Pertimbangan MK di atas dalam perkara yang sama juga disampaikan oleh Dr. Saldi Isra, ketika dihadirkan sebagai saksi ahli oleh para pemohon. Menurutnya menyamakan angka ambang batas 3,5% secara nasional tidak memiliki pijakan konstitusional. Pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional menabrak prinsip otonomi daerah. Keragaman daerah akan terbungkam oleh mekanisme ambang batas parlemen secara nasional. Jika partai politik lokal tidak terpilih di DPRD, maka keragaman di daerah tidak akan terwakili. “Pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional menabrak prinsip otonomi daerah.” “Keragaman daerah akan terbungkam oleh mekanisme ambang batas parlemen secara nasional. Jika partai politik lokal tidak terpilih di DPRD, maka keragaman di daerah tidak akan terwakili. Sehingga yang duduk di DPRD bukan wakil pilihan rakyat.” “Penerapan ambang batas parlemen secara nasional tidak sesuai dengan tujuan pemilihan umum. Oemilu adalah mekanisme pemindahan konflik dari masyarakat ek parlemen. Keadaan ini mengakibatkan pemindahan konflik tidak terjadi karena masyarakat lokal yang memilih partai politik lokal, ternyata partai politik lokal tersebut tidak dapat masuk parlemen.” “Pemilihan DPRD tidak linier dengan pemilihan anggota DPR, karena pemilih bisa memilih partai A untuk DPRD tetapi memilih partai lain untuk DPR.” “Penerapan ambang batas secara nasional berpotensi mendelegitimasi keberadaan DPRD.” Pertimbangan Hukum Menurut MK dalam amar putusannya menyatakan bahwa pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945 karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. ……“Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945” “Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945” ……“Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” “Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”   Referensi: Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 Putusan Nomor 52/PUU-X/2012

Dari ELECTORAL THRESHOLD (ET) Menuju PARLIAMENTARY THRESHOLD (PT)

Krispianus Bheda Divisi Sosdiklih Parmas KPU Kabupaten Manggarai Barat-Puslitbang Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Barat   Parliamentary Threshold (PT) atau ambang batas parlemen selalu menjadi topik pembahasan yang menyita perhatian publik setiap kali rencana perubahan Undang-Undang terkait pemilihan legislatif digelar. Bahkan tidak jarang melahirkan polemik, pro dan kontra. Termutakhir, polemik itu kembali mengemuka, ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum rencanakan direvisi dalam rangka menyempurnakan kerangka hukum pemilihan umum serentak tahun 2024. Salah satunya mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR dengan para pakar pada 1 Juni 2020, dengan agenda utama mendapatkan masukan atas draft materi RUU tentang Pemilihan Umum. Empat pakar yang dihadirkan Anggota Panja dalam RDP tersebut adalah Prof. Dr. Valina Singka, Dr. Philips Vermonte, Prof. Dr. Din Syamsudin dan Prof. Ramlan Surbakti. Masing-masing Pakar dari perspektifnya masing-masing memberi pandangan yang berbeda. Prof. Dr. Valina Singka menyoal rencana menaikan PT dari 4,5% menjadi 7% bukan pilihan ideal. Menurutnya, Parliamentary Threshold 4% sudah menjadikan partai semakin pragmatis dalam proses rekruitmen caleg dan menciptakan ketidakadilan dan rekrutmen: berpihak pada calon dengan basis sosial dan kapital kuat di tingkat lokal daripada kader partai berkualitas tetapi tidak bermodal kapital kuat. Karenanya, dalam draft RUU diusulkan 7% namun mengusulkan diantara 4-5% karena PT tinggi belum menjamin melahirkan system kepartaian yang demokratis. Sementara Prof. Ramlan Surbakti menyoal tujuan diterapkannya PT. Menurutnya, ‘’ambang batas yang naik terus bukan hanya gagal mencapai system partai multi partai sederhana, akan tetapi juga menimbulkan korban suara sah. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan antar warga negara” Pandangan berbeda disampaikan Dr. Philips Vermonte, menurutnya level daerah perlu juga diterapkan PT.  Tujuannya adalah memastikan terjadinya multipartai pada level nasional dan daerah yang moderat. “menyamakan ambang batas daerah dengan nasional, atau menaikan ambang batas di tingkat daerah secara bertahap, misalnya 2 sampai 2,5 persen untuk tahap awal” Namun, pembahasan terkait PT kemudian mereda, setelah rencana revisi tersebut dibatalkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Pemerintah pada 9 Maret 2021. Kedua lembaga tersebut bersepakat untuk mengeluarkan RUU Pemilu dari daftar Prolegnas 2021. Sebenarnya, jika hendak ditelusuri, substansi pembahasan yang dibangun dengan berbagai argumentasi, baik politik maupun yuridis sebenarnya hanya terkait dua hal yakni bertujuan untuk meniadakan PT (sebaiknya) dan/atau jika tetap ada, maka penentuan besaran PT yang akan diterapkan harus dipertimbangkan secara proposional. Topik bahasan dan perdebatan perihal itu, tidak hanya berlangsung di ruang sidang parlemen dan atau mimbar-mimbar akademik, tetapi juga bahkan sampai ke Meja Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti diketahui, terhitung sejak PT pertama kali diterapkan pada Pemilihan Umum Tahun 2009, sudah terjadi lima kali pengujian konstitusionalitas terkait materi tersebut ke MK, walau akhirnya kesemuanya ditolak, termasuk dengan yang terakhir yang diajukan Perludem (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVIII/2020) Berangkat dari latar belakang di atas, menjadi menarik kemudian untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini: Apa itu sebenarnya PT atau ambang batas parlemen. Bagaimana asal-usulnya. Mengapa kemudian menjadi penting untuk dibahas dan diperdebatkan. Apa maksud dan tujuan diterapkannya PT. Jawaban atas sederetan pertanyaan ini adalah subtansi dari tulisan ini.  Naskah lengkapnya dapat diunduh di sini 

BAKOHUMAS KPU: Upaya KPU Menegakkan Eksistensi Di Tengah Era Digital

Diolah oleh Krispianus Bheda, SS/ Divisi Sosdiklih KPU Kab. Manggarai Barat dari Materi Webimar “Peningkatan Peran dan Eksistensi Bakohumas KPU RI, KPU Provinsi/KIP Aceh, dan KPU Kab/Kota” yang digelar KPU RI pada 4 Mei 2020 Pengantar Terdapat enam tujuan utama pembentukan Badan Koordinasi Kehumasan lingkup Komisi Pemilihan Umum yakni pertama, terciptanya SDM Kehumasan di KPU yang berkualitas, komunikatif, aspiratif, profesional dan kompeten. Kedua, terciptanya hubungan kemitraan yang baik dengan para pemangku kepentingan terkait dalam penyampaian informasi kepemiluan secara berjenjang dan berkelanjutan. Ketiga, tersosialiasasikannya kebijakan dan program KPU kepada internal (KPU Provinsi & KPU Kab/Kota) dan eksternal (publik). Keempat, membangun opini publik yang positif terkait informasi kepemiluan dan menyebarluaskannya secara massif. Kelima, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengakses informasi kepemiluan dan meningkatkan citra Lembaga serta kepercayaan publik pada KPU dan keenam, tersedianya data dan pelayanan informasi publik terkait kepemiluan yang terdepan dan terupdate bagi masyarakat. Demikian disampaikan I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Anggota KPU RI Ketua Divisi Sosdiklih dalam kesempatan Webinar dengan tema “Peningkatan Peran dan Eksistensi Bakohumas KPU RI, KPU Provinsi/KIP Aceh, dan KPU Kab/Kota” yang digelar Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sebagai bagian dari Rakor Bakohumas KPU Se-Indonesia pada Selasa (4/5/2021). Pertanyaannya, apa latar belakang lahirnya Bakohumas, bagiamana mekanisme Bakohumas KPU bekerja, apa saja tantangan yang dihadapi dan bagaimana agenda kerja stretegisnya menjawab tantangan-tantangan tersebut. Jawaban atas pertanyan-pertanyaan di atas menjadi subtansi dari tulisan ini. Dengan mereferensi, selain mengulang materi yang sudah dipaparkan I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, juga akan diperkaya dengan sumber-sumber lain, secara khusus paparan para narasumber yang dihadirkan KPU RI dalam Webinar ini, yakni Sigit Joyowardono, Plt Kepala Biro Partisipasi dan Hubungan Masyarakat Ketua Pelaksana Bidang Diseminasi Bakohumas KPU RI, Drs. Bambang Gunawan, M.Si, Direktur Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Direktur Eksekutif NETGRIT (Network for Democracy and Electoral Integrity).   Masifnya Perkembangan Informasi Di Era Digital Dan Tuntutan Regulasi, Sebuah Konteks Upaya Peningkatan Peran dan Eksistensi Bakohumas KPU RI, KPU Provinsi/KIP Aceh, dan KPU Kab/Kota dilatari oleh tiga hal, yakni pertama, masifnya Perkembangan Informasi Di Era Digital, kedua, distorsi informasi tentang pemilu dan pemilihan juga seputar KPU serta ketiga adalah amanat dan sekaligus tuntutan regulasi. Ketiga latar inilah yang melahirkan kesadaran etis KPU untuk membangun Bakohumas sebagai pilar penting dalam upaya mendiseminasi kebijakan institusional, pengetahuan/Pendidikan demokrasi serta penguatan koordinasi internal dan lintas elemen. Masifnya Perkembangan Informasi Di Era Digital Tidak dapat dihindari bahwa Indonesia berada dalam pusaran perkembangan arus digitalisasi infomrasi yang besar. Drs. Bambang Gunawan, M.Si, Direktur Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam dan melalui paparannya yang berjudul Birokrasi Dan Problematika Bakohumas Di Era Digital menunjukkan beberapa fakta terkait tingkat kecenderungan tersebut. Bahwa tingkat penetrasi penggunaan media sosial di Indonesia terbilang besar. Drs. Bambang Gunawan, M.Si, sebagaimana mengutip dari laporan berjudul Digital 2021: The Latest Insights Into The State of Digital memaparkan bahwa dari total 274,9 juta penduduk di Indonesia, 170 juta di antaranya telah menggunakan media sosial. Dengan demikian, angka penetrasinya sekitar 61,8 persen. Angka pengguna aktif media sosial di Indonesia tersebut tumbuh sebesar 10 juta atau sekitar 6,3 persen dibandingkan bulan Januari 2020. Dalam periode yang sama, pengguna internet di Indonesia tumbuh 27 juta atau 15,5 persen menjadi 202,6 juta. Dilihat dari frekuensi penggunaan bulanan, urutan pertama aplikasi media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia ternyata ditempati oleh YouTube, disusul oleh WhatsApp, Instagram, Facebook, lalu Twitter secara berturut-turut. Namun, jika dilihat dari total durasi pengguanaan masing-masing media sosial, jejaring-jejaring dari Facebook duduk di urutan tiga besar. Mereka adalah WhatsApp di mana pengguna media sosial Indonesia rata-rata menghabiskan 30,8 jam per bulan, kemudian Facebook dengan 17 jam per bulan, dan Instagram dengan 17 jam per bulan. Sementara Penetrasi Penguna Internet Indonesia Berdasarkan Usia paling banyak diakses oleh kalangan muda dalam rentang usia antara 15 sampai dengan 24 tahun atau yang dikenal dengan generasi Y serta generasi Z. Pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020 lalu. Total jumlah penduduk Indonesia sendiri saat ini adalah 274,9 juta jiwa. Ini artinya, penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen. Hal tersebut dimuat dalam laporan terbaru yang dirilis oleh layanan manajemen konten HootSuite, dan agensi pemasaran media sosial We Are Social dalam laporan bertajuk "Digital 2021". Berbanding lurus dengan angka-angka di atas, maka tidak dapat dihindari jika gelombang dan arus pertukaran informasi kian meningkat dan massif. Walau faktanya, meningkatnya pertukaran informasi tidak sebanding dengan nilai dan pesan yang disampaikan. Idealnya digitalisasi informasi Memudahkan kita untuk mengakses informasi secara aktual dan faktual secara cepat, tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun faktanya, telah terjadi distorsi informasi, di antaranya yang paling mencemaskan adalah beredarnya informasi atau berita bohong (Hoax) dan hatespeach. Atau mengutip Wardle dan Derakhshan, menurut I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, penyakit yang diderita dalam tubuh sosial di tengah era digital adalah penyakit informasi (information disorder) entah itu mis-informasi, dis-informasi maupun mal-informasi. Sehingga subtansi informasi yang sejatinya adalah kebenaran bukan hanya memudar tetapi imitatif/palsu.  Mengutip Steve Tesich, seniman Serbia-Amerika sekaligus pencetus istilah Post-truth, menurut Drs. Bambang Gunawan, M.Si bahwa masyarakat (hari ini) lebih mencari pembenaran daripada kebenaran. Distorsi Informasi tentang pemilu dan pemilihan juga seputar KPU Sebab musabab penyakit informasi adalah distorsi informasi itu sendiri. Distorsi informasi bahkan menghantam segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk terkait pemilu dan pemilihan dan juga seputar institusi KPU. I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dan Drs. Bambang Gunawan, M.Si dalam paparannya masing-masing mengangkat fakta-fakta itu. I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi secara memaparkan bahwa distribusi informasi dan diskusi terkait pemilihan 2020 cenderung lebih ramai dibicarakan dan banyak beredar di media sosial (89%) dibanding pada media massa (11%). Dari informasi-informasi tersebut, menurutnya tidak semua perangkat media sosial dimaksud digunakan untuk menyebarkan informasi yang benar. Media Sosial menjadi media paling dominan ditemukannya kampanye negatif karena cenderung mudah untuk diprovokasi dan diviralkan oleh banyak orang untuk disebarluaskan dan penggiringan opini. Konten ujaran kebencian menjadi yang paling banyak digunakan untuk mempengaruhi pemilih dan selanjutnya konten disinformasi menurut data Kominfo dan Bawaslu (Nov 2020).  Selanjutnya, Facebook menjadi platform media sosial yang paling banyak digunakan dalam pendaftaran kampanye oleh paslon. Dalam patroli kampanye negatif, Facebook pun menjadi media sosial yang paling banyak ditemukan. Mengutip laporan Tim AIS Kominfo Republik Indonesia, Drs. Bambang Gunawan, M.Si merincikan sebaran isu hoaks dan konten negatif serta kampanye negative dalam Pemilihan 2020. Temuan isu hoaks Pemilihan 2020 yang menyebar di berbagai jariangan media sosial mencapai 1.004 temuan dengan rincian di facebook sebanyak 734 temuan, instgram sebanyak 86 temuan, twitter sebanyak 182 temuan, website dan youtube masing-masing 1 temuan. Sementara itu, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Direktur Eksekutif NETGRIT (Network for Democracy and Electoral Integrity) dalam paparannya yang berjudul ‘KEHUMASAN DAN PEMILU: Catatan dan Rekomendasi’ mencoba melihatnya secara lebih berimbang. Bahwa Distorsi informasi bukan hanya karena informasi yang disebarluaskan palsu atau bohong, tetapi juga penyedia informasi tidak mampu menyiapkan perangkat system, infrastruktur dan SDM yang mumpuni. Fakta perihal itu dicontohkan dengan gamblang oleh Ferry Kurnia Rizkiyansyah dalam paparannya, yakni berita terkait Sistem IT KPU yang mudah diretas, sebagaimana ditulis tirto.id edisi 4 Mar 2019 dengan judul “Sistem IT KPU Rentan Diretas, Perlu Diaudit Forensik.” Dampak langsung dari ketidaksiapan system, infrastruktur dan SDM penyedia informasi adalah ketidakpercayaan publik. Akibatnya, kebenaran yang diinformasikan dipelitir. Tidak hanya itu, informasi-informasi disampaikan tidak diterima publik. Apalagi jika elemen atau person dalam tubuh institusi sedang dalam masalah. Hal itu ditunjukkan Rizkiyansyah dengan tangkapan layer berita Kompas edisi 28 Februari 2020 yang berjudul “Pulihkan Kepercayaan Publik” sebagai sebuah antitesa dari kemelut yang dihadapi KPU pasca pengunduran diri Anggota KPU RI, Wahyu Setiawan dan surat pemberhentian tidak hormat dari Presiden Joko Widodo karena kasus korupsi. Kewajiban Menyampaikan Informasi Publik: Amanat Peraturan Perundang-Undangan Dalam lingkup KPU sebagai institusi publik (pemerintah) pentingnya Bakohumas juga karena merupakan amanat peraturan perundang-undangan. Bakohomas sebagaimana digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang akan diuraikan pada bagian ini selain bersifat koordinatif juga diseminatif yakni terkait pengelolaan informasi publik. Responsif dan Proaktif: Paradigma Kehumasan Pemerintah Sigit Joyowardono, Plt Kepala Biro Partisipasi dan Hubungan Masyarakat Ketua Pelaksana Bidang Diseminasi Bakohumas KPU RI dengan merujuk Permen Kominfo Nomor 35 Tahun 2014 tentang Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat, menegaskan bahwa Bakohumas perlu diperkuat secara struktural. Karena, Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat yang selanjutnya disebut Bakohumas sebagaimana didefinisikan dalam Permen tersebut adalah lembaga nonstruktural yang merupakan forum koordinasi dan kerja sama antar unit kerja bidang humas kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga pemerintah setingkat kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, lembaga penyiaran publik, lembaga negara nonstruktural, Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota, perguruan tinggi negeri, dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah Perihal itu tidak lepas dari visi dan misi Bakohumas Pemerintah Sebagaimana digariskan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi  Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Tata Kelola Kehumasan di Lingkungan Instansi Pemerintah. Visi utamanya adalah terciptanya pengelolaan kehumasan (kelembagaan, ketatalaksanaan, dan SDM) yang proporsional, profesional, efektif dan efisien dalam mendukung penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik. Dengan enam misi yang harus dijalankan yakni  1) membangun citra dan reputasi positif pemerintah; 2) membentuk, meningkatkan dan memelihara opini positif publik; 3) menampung dan mengolah aspirasi masyarakat; 4) mencari, mengklasifikasi serta menganalisis data dan informasi; 5) menyosialisasikan kebijakan dan program pemerintah; serta 6) membangun kepercayaan publik (public trust). Memedomani visi dan misi di atas Drs. Bambang Gunawan, M.Si menjelaskan bahwa dalam konteks hari ini, dimana arus informasi begitu terbuka pemerintah tidak lagi bersikap pasif. Menurutnya, telah terjadi perubahan paradigma kehumasan pemerintah dari sebelumnya (pola lama) reaktif ke responsive dan proaktif. Paradigma ini dikongkretkan dalam tata Kelola kehumasan pemerintah. Mengadaptasi Laurie Wilson & Joseph Ogden (2008) dalam Strategic Communications Planning for Effective Public Relations and Marketing, menurut Drs. Bambang Gunawan, M.Si, Pemerintah menerapkan metode kerja R-A-C-E (Research, Action Planning, Communication Dan Evaluasi). Research mencakup Monitoring Opini dan Aspirasi Publik yang terdiri atas Memantau Isu Publik di Media Massa dan Media Sosial, Mengumpulkan Pendapat umum, Memantau Aduan Masyarakat dan Mengevaluasi dan Memilih Isu Publik. Action Planning mencakup Pengelolaan Konten & Perencanaan Media Komunikasi Publik yang terdiri atas  Penyusunan Strategi Komunikasi Publik; Pengemasan Konten; Pengelolaan Kanal Komunikasi Publik serta  Pengelolaan Mitra Strategis Komunikasi Publik. Communication mencakup Pelayanan Informasi Publik Pengelolaan Informasi Publik Sebagai Implementasi UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang terdiri atas Layanan Hubungan Masyarakat & Media serta Pengelolaan Hubungan Dengan Masyarakat & Media. Serta Evaluation yang mencakup Monitoring & Evaluasi Komunikasi Publik yang terdiri atas Penyusunan kriteria dan alat ukur penilaian komunikasi publik; dan Pengukuran komunikasi publik berdasarkan input, output, outcome, & outgrowth. Kewajiban Menyampaikan Informasi Publik I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dalam paparannya menguraikan latar tersebut. Menurutnya, sesuai amanat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan, salah satu tugas dan kewajiban KPU selaku penyelenggara pemilu adalah wajib melakukan penyampaian informasi dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu dan pemilihan kepada masyarakat. Perihal itu tertuang dalam UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 14 huruf c, yang menyebutkan bahwa “KPU berkewajiban menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilu kepada masyarakat.” Dalam Pasal 17 huruf c, yang menyebutkan “KPU Provinsi berkewajiban menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilu kepada masyarakat” dan dalam Pasal 20 huruf c, yang menyebutkan “KPU Kab/Kota berkewajiban menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilu kepada masyarakat” Sementara dalam UU No.1/2015 j.o UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah juga disebutkan dalam Pasal 10 huruf b, bahwa “KPU berkewajiban menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilihan kepada masyarakat.” Dalam  Pasal 12 huruf c, menyebutkan “KPU Provinsi berkewajiban menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilihan gubernur kepada masyarakat.” Dan dalam Pasal 14 huruf c, menyebitkan “KPU Kab/Kota berkewajiban menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilihan bupati dan walikota kepada masyarakat” Selain berbasis Undang-Undang, perihal Penyampaian Informasi Penyelenggaraan Pemilu & Pemilihan juga tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum, diantaranya PKPU No. 8 Tahun 2017 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota dan Wakil Walikota, PKPU 10 Tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum, PKPU No. 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, dan PKPU No. 14 Tahun 2020 tentang Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal KPU , Sekretariat KPU Provinsi dan Sekretariat KPU Kab/Kota.  Selanjutnya terkait teknis pengelolaan informasi publik tertuang dalam PKPU No. 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Komisi Pemilhan Umum. Pembentukan Bakohumas KPU Berangkat dari latar argumentasi penjelas di atas, Komisi Pemilihan membentuk Bakohumas. Pembentukan Bakohumas di lingkup Komisi Pemilihan Umum tertuang dalam Keputusan KPU No. 172 Tahun 2021 Tentang Badan Koordinasi Kehumasan Komisi Pemilihan Umum (Bakohumas). Tugas Bakohumas KPU Merujuk pada keputusan tersebut, Sigit Joyowardono menjelaskan perihal tugas-tugas Bakohumas KPU sebagaimana termaktub dalam dictum keempat. Terdapat lima tugas utama Bakohumas KPU yakni: a) melakukan koordinasi antara Komisi Pemilihan Umum dengan Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota untuk kelancaran arus informasi antara satuan kerja;  b)  melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Badan Koordinasi Kehumasan pada instansi/lembaga pemerintah tingkat pusat dan daerah; c)  merencanakan dan melaksanakan kegiatan kehumasan; d) menghimpun, mengelola, dan menyalurkan data/informasi kehumasan yang diperlukan; dan e)  melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kehumasan kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum. Struktur Bakohumas KPU Dalam menjalankan tugas Bakohumas, KPU membentuk struktur Bakohumas. Struktur Bakohumas yang mencakup KPU RI, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota terdiri atas pembina, ketua dan ketua pelaksana. Pembina terdiri atas Ketua KPU RI, Anggota KPU RI (Ketua Div. Sosdiklih) di lingkup KPU RI,  Ketua KPU Provinsi dan Anggota KPU Provinsi (Ketua Div. Sosdiklih) di lingkup KPU Provinsi serta Ketua KPU/KIP Kab/Kota  dan Anggota KPU Kab/Kota (Ketua Div. Sosdiklih) di lingkup KPU Kabupaten/Kota.   Ketua Bakohumas adalah sekretaris Jenderal KPU RI di lingkup KPU RI, Sekretaris KPU Provinsi di lingkup KPU Provinsi dan Sekretais KPU Kabupaten/Kota di lingkup KPU Kabupaten/Kota. Ketua pelaksana diemban oleh Ka. Biro Bidang Diseminasi Informasi, Ka. Biro Bidang SDM dan Ka. Biro Bidang Advokasi untuk lingkup KPU RI, Ka. Bagian Bidang Diseminasi Informasi, Ka. Bagian Bidang SDM dan Ka. Bagian Bidang Advokasi di lingkup KPU Provinsi serta Ka. Sub Bagian Bidang Diseminasi Informasi, Ka. Sub Bagian Bidang SDM dan Ka. Sub Bagian Bidang Advokasi di lingkup KPU Kabupaten/Kota. Peran Bakohumas KPU: Koordinatif dan Diseminatif Bakohumas lingkup KPU secara berjenjang melalui struktur yang sudah dibentuk selain memiliki peran koordinatif juga menjalankan peran diseminatif. Peran koordinatif dilaksanakan baik internal maupun ekstenal. Secara internal Bakohumas dimaksudkan sebagai ruang komunikasi sekaligus konsolidasi internal KPU secara berjenjang dengan tujuan percepatan dan kelancaran arus informasi antara Bakohumas KPU dengan KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota dilakukan melalui platform grup WhatsApp. Peran koordinatif keluar/eksternal membangun kemitraan dengan multistakeholder KPU, mulai dari lingkup nasional sampai daerah, yakni Kementerian & Lembaga Pemerintah di Tingkat Pusat, Lembaga Penyelenggara Pemilu (Bawaslu RI, Bawaslu Prov/Kab/Kota & DKPP), Media & TV Nasional, Media & TV Lokal, Media online, Radio, LSM, Penggiat dan Pemantau Pemilu, TNI & Polri, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang (termasuk didalamnya Organisasi Perangkat Daerah seperti Dinas terkait), Perguruan Tinggi, Platform Media Sosial, Partai Politik, Masyarakat, Komunitas, Influencer, mitra lain terkait. Sementara itu terkait peran diseminatif Bakohumas KPU, Sigit Joyowardono secara spesifik menjelaskan terkait persiapan menyongsong Pemilu dan Pemilihan serentak Tahun 2024 yang mencakup 7 (tujuh) poin penting yakni: 1) Penyebarluasan (Diseminasi) informasi Penyelenggara dan penyelenggaraan tahapan Pemilu; 2) Membangun kesadaran awareness masyarakat terhadap pentingnya partisipasi dalam pemilu; 3) Menciptakan situasi yang kondusif sehingga pemilu dapat berjalan secara damai; 4) Mendorong masyarakat menggunakan hak pilih secara rasional; 5) Meningkatkan kepercayaan publik (trust) terhadap penyelenggara, penyelenggaraan, dan hasil Pemilu. 6) Sebagai pelayan publik/ juru bicara/penyedia informasi terkait kepemiluan yang terdepan; 7) Membangun kerjasama antar instansi/Lembaga pemerintah untuk informasi kepemiluan. Peran diseminatif Bakohumas KPU menurut Sigit Joyowardono, dilaksanakan dalam bingkai peran kehumasan pemerintah secara umum sebagai diamanatkan dalam Permenpan RB No. 30 Tahun 2011 yang terdiri atas 6 (enam) fungsi yakni: 1) Komunikator Humas pemerintah berperan membuka akses dan saluran komunikasi dua arah, antara instansi pemerintah dan publiknya, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui sarana kehumasan. 2) Fasilitator Humas pemerintah berperan menyerap perkembangan situasi dan aspirasi publik untuk dijadikan masukan bagi pimpinan instansi pemerintah dalam pengambilan putusan. 3) Diseminator Humas pemerintah berperan dalam pelayanan informasi terhadap internal organisasi dan publiknya, baik langsung maupun tidak langsung, mengenai kebijakan dan kegiatan masingmasing instansi pemerintah. 4) Katalisator Humas pemerintah berperan dalam melakukan berbagai pendekatan dan strategi guna mempengaruhi sikap dan pendapat publik untuk menyelaraskan kepentingan pemerintah dengan publik. 5) Konselor, Advisor, dan Interpreter Humas merupakan konsultan, penasihat, dan penerjemah kebijakan pemerintah. 6) Prescriber Humas berperan sebagai salah satu instrumen strategis pemimpin puncak penentu kebijakan. Strategi Bakohumas KPU Sigit Joyowardono, menguraikan 5 (lima) poin Strategi Bakohumas KPU, secara khusus dalam Menghadapi Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024, yakni: 1) Mengelola, mengidentifikasi opini publik terkait informasi kepemiluan, perihal ini dilakukan dengan Media monitoring & analisis, mengelola dan membuat konten di website KPU & media sosial, survei kepuasan layanan publik; 2) Memetakan opini, informasi dan isu kepemiluan serta membangun kedekatan dengan publik, perihal ini dilakukan dengan berbagai aktivitas diantaranya Webinar, diskusi publik, survei, atau FGD, membalas komentar di media sosial; 3) Melakukan respons cepat atas informasi kepemiluan yang disampaikan. Hal ini dilakukan dengan aktivitas diantaranya Peliputan, rilis berita, konferensi pers, melakukan counter isu jika respon dari publik yang muncul negative. 4) Melakukan kerjasama atau kolaborasi dengan stakeholder terkait penyebarluasan informasi kepemiluan dan peningkatan kualitas SDM Kehumasan. Hal ini dilakukan dengan varian aktivitas berupa Nota kesepakatan/Perjanjian Kerjasama dengan stakeholder, kunjungan ke Media (Press-Tour), Media Gathering, dan pelatihan SDM Kehumasan; serta 5) Melakukan monitoring evaluasi atas efektifitas program kehumasan yang dilakukan dalam setahun terakhir, dengan cakupan aktivitas meliputi Rapat koordinasi & evaluasi, Rakor kehumasan, dan FGD. Tantangan-Tantangan Yang (sudah, sedang dan akan) Dihadapi Drs. Bambang Gunawan, M.Si, menjelaskan, dalam lingkup Pemerintah secara umum  Bakohumas memiliki kendala yang tidak ringan. Kendala tersebut dilatari oleh dua faktor utama, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal memnurutnya, mencakup wilayah Indonesia yang sangat luas (melebihi Eropa Barat sebanyak 17.000 pulau) dengan karakteristik yang berbeda-beda sehingga membuat proses diseminasi informasi tidak bisa secara serentak dapat langsung diterima masyarakat; Pemerataan akses informasi publik masih diupayakan merata; dan  Kemampuan masyarakat dalam mengakses dan memahami informasi publik berbeda-beda. Sementara faktor internalnya adalah SDM sekretariat Bakohumas yang terbatas; Sarana dan Prasarana dalam mendukung kegiatan sekretariat Bakohumas masih belum optimal; Setiap KLD mempunyai isu-isu sektoral yang penting sehingga terkadang sulit untuk meredam ego-sektoral dalam memetakan agenda isu prioritas pemerintah; Rotasi Pejabat KLD di bidang Kehumasan; dan Kemampuan SDM bidang kehumasan di setiap KLD tidak sama. Tantangan yang sama pun dihadapi KPU secara berjenjang. Ferry Kurnia Rizkiyansyah, memaparkan tantangan yang dihadapi KPU berdasarkan pengalamannya sebagai Komisioner KPU RI. Menurutnya cakupan tatantangan yang dihadapi KPU dalam mengelola kehumasan mulai dari manajemen pencitraan sampai infrastruktur. Kesemuanya memiliki keterpautan satu dengan yang lainnya. Sebagai misal dalam Pencitraan Lembaga, perlu ada manajemen image yang dikelola oleh SDM yang handal dan dikung oleh infrastruktur dan anggaran yang memadai. Apalagi di tengah tuntutan informasi yang semakin tinggi di satu sisi dan Media manajemen yang belum terintegrasi di sisi yang lain. Menurutnya, substansi kehumasan bukan bukan bagaimana content yang harus dikomunikasikan ke publik tapi bagaimana caranya agar publik mau mendengar KPU. Tantangan yang sama diuraikan I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dalam paparannya. Menurutnya, tantangan Bakohumas KPU mencakup 6 (enam) hal yakni: Sistem Komunikasi Hanya menggunakan grup WA dan seringkali komunikasi hanya berlangsung satu arah dan tidak ada umpan balik (feedback) menjadi tantangan dalam inovasi atau pengembangan Bakohumas Kepercayaan Publik Banyaknya disinformasi/hoaks kepemiluan membuat kepercayaan publik pada Lembaga KPU menurun dan hal ini yang perlu dirubah dalam tata cara pengelolaan hubungan masyarakat melalui rilis media dan media sosial secara konsisten; Tuntutan Publik Tuntutan publik dalam mengakses informasi yang cepat, terupdate dan membuat counter informasi melawan hoaks menjadi hal yang perlu disiapkan dengan baik; Produksi Konten Kreatif Produksi Konten Kreatif Pembuatan konten melalui website KPU (artikel), medsos (foto, infografis,video dll) harus secara rutin diproduksi dan terjadwal agar informasi yang benar secara berkala tepat sampai di masyarakat dan hoaks yang muncul secara perlahan tereduksi Teknologi Teknologi yang berubah dengan cepat seperti halnya software yang digunakan hingga tools analysis untuk media sosial harus mampu dipahami oleh SDM di Bakohumas KPU dengan cepat agar pelaksanaan pekerjaan kehumasan bisa efektif dan efisien; Penyediaan SDM Penyiapan SDM Belum meratanya skill SDM Bakohumas di KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota membuat diperlukannya pelatihan berkala bekerjasama dengan Puslitbang untuk meningkatkan skill SDM kehumasan. Upaya KPU Menegakkan Eksistensi  Di Tengah Era Digital Dalam upaya menegakkan eksisten di tengah era digital, Bakohumas KPU Menurut Ferry Kurnia Rizkiyansyah, pertama-tama perlu Memahami Proses Kehumasan/PR Yang Benar Bagi Penyelenggara Pemilu. Perihal itu, Rizkiyansyah menyebut empat elemen penting yang antara satu dengan yang lainnya saling menopang, yakni: 1) Reputasi merepresentasikan eksistensi organisasi di mata publik. 2) Reputasi organisasional yang baik bukan pemberian, tetapi direncanakan dan diraih. Ini menjadi indikator efektivitas komunikasi publik dari sebuah organisasi, begitu juga bagi Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPP). 3) Reputasi organisasional LPP berkorelasi positif terhadap peningkatan partisipasi pemilih dalam tahapan penyelenggaraan pemilu. 4) Reputasi organisasional LPP yang baik hanya dapat dicapai melalui praktek PR yang benar. Karenanya humas mesti peran dan fungsinya. Untuk tujuan itu, Ferry Kurnia Rizkiyansyah merekomendasikan tiga hal yakni pertama, pentingnya riset sebagai salah satu cara mempertajam fungsi dan peran public relation, kedua, optimalisasi aktivitas kehumasan, dan ketiga adalah analisis digital. Menurutnya Riset adalah pengumpulan informasi yang sistematis untuk menggambarkan dan memahami situasi dan untuk memeriksa asumsi tentang konsekuensi publik dan hubungan masyarakat. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi ketidakpastian dalam pengambilan keputusan (Broom & Sha, 2013: 265). Oleh karenanya KPU perlu memperkuat riset sebagai basis argumentasi bukan hanya dalam meproduksi kebijakan tetapi juga dalam mendiseminasi informasi publik. Alasan Menggunakan Riset menurutnya adalah 1) Untuk mencapai kredibilitas manajemen; 2) Untuk menentukan segmen khalayak/publik yang paling memungkinkan; 3) Untuk merumuskan strategi; 4) Untuk mendesain pesan komunikasi, 5) Untuk membantu manajemen tetap terhubung (keep in touch); 6) Untuk mencegah terjadinya krisis yang dihadapi oleh organisasi; 7) Untuk mempengaruhi opini publik; dan 8) Untuk menghasilkan publisitas. Selain Riset, KPU secara berjenjang perlu mengoptimalkan  aktivitas-aktivitas Ke-Humas-an melalui berbagai hal yakni: 1) Melalui Media massa (Conference Press, Press release yang berhubungan dengan wartawan dan redaksi; 2) Melalui media khusus, seperti booklet, bulletin, slide, film, video, dan presentasi video; 3) Melalui internet (website/situs internet, mailling list, e-mail) dan Media Sosial; 4) Melalui interaksi langsung, seperti wokshop, diskusi, pelatihan; 5) Media center (Desain, setting Dan Tenaga Ahli media center). Selanjutnya di tengah era digital seperti sekarang ini, analisis digital untuk penguatan public relation menjadi agenda penting. Menurut Ferry Kurnia Rizkiyansyah, KPU perlu melakukan tiga hal terkait analisis digital yakni: 1) Analisis Web (Web Analytics) tujuannya adalah membantu organisasi memahami lalu lintas web (web traffic) dan dampaikanya pada publik utama (key publics). 2) Alat Pemantauan Media Sosial (Social Media Monitoring Tools) tujuannya adalah membantu organisasi mengembangkan metrik untuk informasi strategis tentang rencana dan upaya media sosial; dan 3) Penelitian Partisipatori Media Sosial (Social Media Participatory Research) tujuannya adalah Memperhatikan dengan cermat khalayak utama (key audiences) dalam pengelolaan sosial virtual. Rekomendasi yang kurang lebih sama disampaikan I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, namun jika dibaca dengan cermat, rekomendasi yang disampaikannya lebih tepat disebut sebagai agenda kerja strategis Bakohumas KPU secara berjenjang dalam upaya penguatan Peran dan Eksistensi Bakohumas KPU RI, KPU Provinsi/KIP Aceh, dan KPU Kab/Kota di tengah era digital. Terdapat dua agenda kerja strategis yang disampaikannya, mencakup agenda kerja internal (penguatan peran koordinasi internal) dan agenda kerja eksternal (penguatan peran koordinasi eksternal). Agenda kerja strategis Internal Agenda kerja internal terdiri atas: Pelatihan SDM/Admin Medsos: KPU RI sedang merancang program pengembangan kapasitas untuk admin media sosial di KPU Provinsi/Kab/Kota dan berbagai pelatihan lainnya Bersinergi dalam hal penyiapan konten: Bakohumas KPU RI Bersama BakohumasKPU Provinsi/Kab/Kota harus bersinergi melawan hoaks kepemiluan yang mendiskreditkan penyelenggara/Lembaga dengan penyiapan konten yang terjadwal dan informatif Pendaftaran Akun Medsos: KPU RI telah melakukan pendataan kepada KPU Provinsi/Kab/Kota agar akun media sosialnya dapat terdaftar secara resmi dan mendapatkan centang biru oleh platform Inovasi PPID: Pelayanan informasi publik yang cepat, transparan dan akuntabel membutuhkan inovasi serta masukan agar tercipta pelayanan publik yang berkualitas Agenda kerja strategis Eksternal Agenda kerja eksternal terdiri atas: Kerjasama Antar Lembaga: Adanya akun grup Whatsapp Bakohumas dan kewajiban Bakohumas KPU Daerah memiliki grup dengan Dinas/Organisasi Perangkat Daerah/Media Setempat dll dapat bersinergi menyebarluaskan informasi kepemiluan secara massif. Kerjasama dengan Media Lokal: Publikasi informasi kepemiluan untuk 2024 dengan media lokal (TV, Radio, Media Online, Surat Kabar dll) harus dibangun dengan solid sejak saat ini. Kerjasama dengan platform media sosial: Platform media sosial mempunyai Kerjasama non-profit dengan instansi pemerintah salah satunya KPU terkait pelatihan fitur untuk admin media sosial Kerjasama dengan influencer: daerah Influencer daerah mampu menyampaikan melalui Bahasa daerah yang mudah dimengerti dan memiliki pengaruh karena diikuti follower yang berlokasi di daerah yang sama. Penutup   Masyarakat hari ini lebih mencari pembenaran daripada kebenaran. Bakohumas KPU sebagai bagian dari Bakohumas Pemerintah harus keluar dari sikap reaktif apalagi pasif, menuju sikap dan semangat yang lebih responsible dan responsif, karena tantangan terbesar di era digital di tengah pusaran arus informasi yang kian massif adalah terjadinya distorsi informasi entah itu berupa mis-informasi, dis-informasi mapun mal-informasi, baik karena keterbatasan institusional mapun karena faktor luar. Fakta sudah membuktikan, pemilihan 2020 diserang ribuan hoax dan hatespeach. EKsistensi dan kredibilitas KPU secara institusional dipertaruhkan. Untuk tujuan itu, Bakohumas lahir. Diharapkan melalui Bakohumas, peran koordinatif dan diseminatif yang ditopang dengan berbagai agenda stretegis-teknis, baik penguatan regulasi dan kebijakan yang cermat membaca teks dan konteks, infrastruktur yang sadar digital, manajemen yang solid, anggaran yang memadai, SDM yang handal dan mumpuni menjadi perhatian prioritas KPU secara berjenjang. Dengan dan dalam latar itu, tujuan utama Bakohumas sebagaimana diuraikan di awal dapat terwujud. Yakni: pertama, terciptanya SDM Kehumasan di KPU yang berkualitas, komunikatif, aspiratif, profesional dan kompeten. Kedua, terciptanya hubungan kemitraan yang baik dengan para pemangku kepentingan terkait dalam penyampaian informasi kepemiluan secara berjenjang dan berkelanjutan. Ketiga, tersosialiasasikannya kebijakan dan program KPU kepada internal (KPU Provinsi & KPU Kab/Kota) dan eksternal (publik). Keempat, membangun opini publik yang positif terkait informasi kepemiluan dan menyebarluaskannya secara massif. Kelima, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengakses informasi kepemiluan dan meningkatkan citra Lembaga serta kepercayaan publik pada KPU dan keenam, tersedianya data dan pelayanan informasi publik terkait kepemiluan yang terdepan dan terupdate bagi masyarakat. Akhir kata, Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 sudah di depan mata. Terhadap semua gagasan besar yang sudah disampaikan menjadi relevan jika peristiwa 2024 itu menjadi ruang implementasinya. Ruang memperistiwakan ide dan gagasan. Sigit Joyowardono, di akhir pemaparannya menegaskan sekaligus mengajak Bakohumas KPU untuk untuk memperistiwakannya. Menurutnya, peran nyata Bakohumas KPU adalah sebuah keniscayaan. Menurutnya, kesuksesan pemilu dan tingginya partisipasi masyarakat dipengaruhi dari arus informasi kepemiluan yang baik, positif, lengkap dan transparan dirilis ke publik. Salam Melayani!    

Mari Mendalami Tata Kelola Pemilu Di Indonesia

Oleh Krispianus Bheda, SS Divisi Sosialisasi, Parmas, Diklih dan SDM KPU Manggarai Barat   Telah terbit “Tata Kelola Pemilu Di Indonesia.” Sebuah buku yang penyusunannya berdasarkan konstruksi pemahaman normatif serta teknis kepemiluan yang dikombinasikan dengan pengalaman empirik dan praktek-prakter terbaik (best practises) penyelenggaraan pemilu di pusat maupun di daerah. Basis argumentasi teoretik sampai catatan amatan dan pengelaman baik yang disebut best practises itu tertuang dalam Sembilan bagain/bab (termasuk pendahuluan dan penutup). Dalam buku yang ditulis oleh delapan penulis ini, tata kelola pemilu (di Indonesia) didefinisikan sebagai “sebuah siklus atas pengelolaan tahapan-tahapan kepemiluan yang melibatkan interaksi antar para pemangku kepentingan di dalam kepemiluan.” Definisi di atas merupakan bacaan lanjutan dan/atau diadaptasi para penulis dari beberapa konsep normatif yang sebelumnya sudah didiskusikan panjang lebar oleh para ahli politik kepemiluan dan demokrasi seperti Torres dan Dìaz dalam “Electoral Governance: More than Just Electoral Administration.” Mexican Review Law. Vol. VIII (1) Tahun 2015. Atau sebelumnya sudah dikemukakan oleh Mozaffar dan Schedler dalam “The Comparative Study of Electoral Governance Introduction.” International Political Science Review. Vol.23 (1) Tahun 2002, serta Ramlan Surbakti dalam  “Tata Kelola Pemilu sebagai Subkajian Pemilu Terapan.” Pidato Inagurasi Anggota Baru Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, 26 Desember 2016. Secara teoretik, hemat saya, definisi di atas tidak menghadirkan hal baru. Dan memang bukan dimaksudkan para penulis untuk mengantar pembaca  mendalami argumentasi-argumentasi teoretik per se. Tetapi sengaja dihadirkan sebagai sebuah kerangka dasar yang diniatkan untuk membantu alur pikir para pembaca untuk memahami buku ini, sebagaimana disinggung  Pramono Ubaid Tanthowi, Komisioner KPU RI yang menulis untuk bagian penutup buku ini (bab 9). Namun demikian, bagi saya, yang menarik dari buku ini sebenarnya adalah pengalaman empirik dan praktek-prakter terbaik (best practises) penyelenggaraan pemilu di pusat maupun di daerah sebagaimana dinarasikan panjang lebar oleh Ferry Daud Liando pada bab 8 di bawah judul ‘Pengalaman Baik Di Berbagai Daerah’ Di sana Ferry tidak hanya menarasikan pengalaman-pengalaman menarik  dalam penyelenggaraan Pemilu tetapi juga sekaligus memetakan beberapa isu strategis yang biasanya dihadapi oleh KPU di tingkatan daerah. Pengelaman-pengalaman empirik ini menjadi menarik karena substansinya tidak hanya persoalan teknis, tetapi juga hukum dan etik. Inilah hemat saya yang jika direfleksikan secara sungguh kritis dapat membantu penyelenggaraan pemilu dan/atau pemilihan ke depan. Dan secara ambisius dapat menjadi terobosan berarti dalam merancangbangun tata kelola pemilu Indonesia ke depan. Karenanya, Ferry dengan sangat terbuka membiarkan catatannya terbuka dengan tanpa menyertakan analisis teoretik mendalam. Hal itu dimaksudkan Ferry agar pembaca dapat mengambil pelajaran dari berbagai pengalaman yang telah dilakukan oleh KPU dalam rangka memberi solusi atas berbagai tantangan, kendala, dan problematika yang menghadang. Dengan demikian, menurut Ferry, narasi-narasi yang dihadirkannya perlu ditindaklanjuti dengan kajian-kajian berikutnya dalam rangka memperkaya praktik-praktik terbaik yang telah dilakukan oleh KPU sampai sejauh ini. Akumulasi dari pengalaman baik itu akan sangat berharga bagi upaya untuk mendorong proses penyelenggaraan Pemilu yang semakin lebih baik ke depan. Akhirnya, meringkas catatan ini, sebaiknya, pembaca secara luas/umum, dan penylenggara pemilu secara khusus membaca sendiri buku ini. Karena buku setebal 442 halaman ini (secara keseluruhan) ditulis bukan hanya sebagai panduan untuk memperkuat kompetensi Anggota KPU dari sisi pengetahuan, keterampilan dan sikap sehingga dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan tugas, sebagaimana disampaikan Arif Budiman, Ketua KPU RI dalam kata sambutannya untuk penerbitan buku ini. Tetapi juga sekaligus sebagaimana disampaikan Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Ketua Tim Penyusun Buku dalam Kata Pengantar buku ini bahwa buku ini diniatkan juga untuk kalangan akademisi dan pegiat pemilu yang memiliki konsen dalam bidang kepemiluan dan demokrasi. Pun berharap buku ini juga dapat menjadi rujukan bagi para pihak terkait untuk mendorong penyelenggaraan pemilu secara profesional dan kolegial. Mari Mendalami. Selamat membaca! Berikut link-nya, silahkan Unduh